Publikamalut.com
Beranda Ruang Kata SOSIOLOGI KAMPUS : SEBUAH RENUNGAN

SOSIOLOGI KAMPUS : SEBUAH RENUNGAN

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

Esai ini dibuat, hari ini, Selasa (22/04/2025), usai memberi kuliah pada mahasiswa Prodi Sosiologi UMMU Semester IV. Di pagi bening yang mulai beringsut jelang siang. Ketika embun belum sepenuhnya menguap dari dedaunan, kampus UMMU, pagi itu perlahan menggeliat. Bukan hanya ruang fisik dengan bangunan dan halaman, tapi kampus ini merepresentasi jagat kecil dengan segala denyut kehidupan sosial yang rumit dan menggoda untuk diurai.

Lorong-lorong kampus pagi itu, masih menyimpan bisik-bisik ideologi yang tersisa entah kapan, mulai soal pertemuan kelas, ketimpangan struktural, dan perlawanan kecil yang terkadang luput dari mata dosen yang terburu-buru menuju ruang kuliah. Itu hanya sekadar pendapatku. Asumsiku.

Terbersit menulis tentang sosiologi kampus. Dan jadilah remah-remah ide itu dalam esai ini.

Sosiologi kampus bukan sekadar kajian tentang mahasiswa, dosen, tenaga pendidik, para pejabat kampus, atau sebuah institusi pendidikan tinggi. Sosiologi kampus merupakan upaya menangkap denyut kehidupan sosial yang melintasi ruang akademik, menelisik bagaimana struktur dan agensi berkelindan di dalamnya.

Lagi-lagi, meminjam Pierre Bourdieu, dengan konsep habitus, kapital, dan field/arena, telah cukup membantu untuk memahami bagaimana kampus menjadi arena perebutan makna dan posisi.

Mahasiswa dari kelas sosial berbeda tidak sekadar hadir di ruang yang sama, mereka membawa sejarah personal, bahasa tubuh, dan pola pikir yang telah ditempa oleh struktur sosial sebelumnya (Bourdieu, 1984: 101).

Di ruang kuliah, tak semua suara terdengar dengan bobot yang sama—kapital simbolik, seperti kefasihan berbicara, menulis, atau penguasaan teori, menjadi alat kekuasaan terselubung.

Namun, kampus bukanlah ruang homogen. Kampus juga dihuni oleh hasrat akan perubahan. Jika mengulur temali sejarah ke belakang, betapa mahasiswa kerap menjadi pelaku utama dalam sejarah panjang perlawanan sosial. Dari Mei 1968 di Prancis hingga Reformasi 1998 di Indonesia, kampus merupakan ruang subversif yang menyuburkan perlawanan terhadap ketidakadilan. Dalam bahasa Benedict Anderson, kampus bisa menjadi ruang imagined community, tempat solidaritas tumbuh melampaui sekat-sekat identitas sempit (Anderson, 1991: 71).

Sosiologi kampus juga tak bisa lepas dari persoalan kelas dan neoliberalisme. Pendidikan tinggi kini makin dikomodifikasi. Kampus-kampus berubah menjadi korporasi yang menjual ijazah dan gelar sebagai produk, demikian yang kita baca dan dengar dari media. Sementara mahasiswa diposisikan sebagai konsumen. Ini yang disebut oleh Henry Giroux sebagai _the neoliberal university_, tempat di mana nilai tukar lebih penting daripada nilai guna ilmu pengetahuan (Giroux, 2014: 125).

Di sisi lain, relasi kuasa dalam kampus juga tak bisa dilepaskan dari patriarki. Ruang kampus yang seharusnya inklusif dan emansipatoris kerap menjadi ladang subur bagi tumbuhnya kekerasan simbolik dan seksual. Di beberapa kampus, mahasiswi sering menjadi sasaran objektifikasi, dan birokrasi kampus justru membungkam alih-alih melindunginya, beberapa waktu lalu, kita mengetahui bagaimana kampus telah terlempar dari jalur penjaga integritas.

Namun di tengah gelap, selalu ada cahaya. Komunitas diskusi, forum alternatif, hingga ruang kreativitas digital yang dibangun mahasiswa menjadi bukti bahwa harapan belum pudar. Kampus, dalam segala paradoksnya, tetap menjadi laboratorium sosial tempat ide-ide bisa tumbuh—meski terkadang dibungkam.

Sosiologi kampus merupakan upaya membaca yang tak kasatmata: relasi, simbol, dan perlawanan. Ia mengajak kita melihat kampus bukan sekadar sebagai tempat belajar, tapi juga sebagai cermin dari masyarakat yang lebih luas. Sebagaimana ditulis sosiolog terkemuka, C. Wright Mills dalam The Sociological Imagination, “to understand the life of an individual, one must understand the history of the society
(untuk memahami kehidupan seorang individu, seseorang harus memahami sejarah masyarakat)
(Mills, 1959: 6).

Maka memahami kampus, adalah memahami dunia. Tabea.[]

Komentar
Bagikan:

Iklan