Publikamalut.com
Beranda Ruang Kata Tambang Dalam Kajian RPJMD

Tambang Dalam Kajian RPJMD

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

Pembangunan daerah seyogianya tidak semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan juga harus menjamin keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. Hal ini menjadi penting untuk Maluku Utara, yang dalam beberapa tahun terakhir tengah menjadi pusat perhatian nasional dan global karena sumber daya tambangnya, terutama nikel di Halmahera.

Dalam konteks perencanaan pembangunan lima tahunan, sangat mendesak agar persoalan tambang dimasukkan dalam kajian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Maluku Utara tahun 2025–2029.

Sekalipun Maluku Utara pernah mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi nasional selama beberapa tahun terakhir, yang sebagian besar didorong investasi tambang dan smelter (BPS Maluku Utara, 2023: 45), namun pertumbuhan ini bersifat semu, karena tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Sebagaimana dicatat oleh berbagai riset, ekspansi industri ekstraktif acapkali menghasilkan “enklave ekonomi” yang tertutup dan tidak menyerap tenaga kerja lokal secara optimal. Hal ini diperparah dengan melemahnya sektor tradisional seperti perikanan dan pertanian akibat alih fungsi lahan dan pencemaran lingkungan.

RPJMD sebagai dokumen strategis harus mampu menjawab tantangan ini secara komprehensif. Tanpa analisis mendalam mengenai dampak sosial-ekologis tambang, arah pembangunan daerah akan timpang, rawan konflik, dan mengabaikan keberlanjutan jangka panjang.

Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengalihkan kewenangan pengelolaan pertambangan dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi, kemudian beralih ke Pemerintah Pusat, sebagaimana UU Minerba No. 4/2009. Ini berarti Pemerintah Pusat memiliki tanggung jawab penuh untuk mengatur, mengawasi, dan memastikan bahwa aktivitas tambang tidak merugikan masyarakat maupun ekosistem.
Tetapi fakta lapangan berbeda, limpahan persoalan krusial, terutama kerusakan lingkungan justru diterima warga masyarakat dan daerah.

Lebih lanjut, sementara Permendagri No. 86 Tahun 2017 justru menekankan pentingnya integrasi isu strategis lingkungan hidup ke dalam RPJMD. Dalam konteks ini, tambang tidak hanya relevan sebagai isu ekonomi, tetapi juga sebagai isu tata ruang, mitigasi bencana, dan hak-hak masyarakat adat (Kementerian Dalam Negeri, 2017: 38).
Karenanya, tidak ada alasan untuk mengecualikan sektor pertambangan dari pembahasan strategis RPJMD.

Risiko Sosial

Di berbagai wilayah tambang di Maluku Utara seperti Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan, konflik antara perusahaan dan masyarakat semakin marak. Studi oleh Sajogyo Institute (2021: 61) menemukan bahwa banyak masyarakat lokal tidak memiliki akses informasi memadai sebelum lahan mereka diambil alih untuk kepentingan tambang. Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya proses konsultasi dan minimnya perlindungan hukum terhadap komunitas adat dan petani kecil.

Memasukkan persoalan tambang dalam RPJMD akan memungkinkan Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengadopsi pendekatan resolusi konflik dan penguatan hak-hak warga, termasuk penyusunan peta indikatif wilayah kelola rakyat dan audit sosial atas izin tambang yang telah terbit.

Tambang juga menyimpan potensi besar dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, hingga kini kontribusi sektor ini terhadap PAD Maluku Utara masih tergolong kecil dibandingkan skala investasinya (Bappeda Maluku Utara, 2023: 54).

Hal ini memperlihatkan adanya celah dalam regulasi maupun pengawasan yang bisa dibenahi jika isu ini dijadikan bagian integral dalam RPJMD. Strategi optimalisasi penerimaan daerah melalui transparansi pajak mineral, renegosiasi kontribusi CSR, dan instrumen kebijakan fiskal hijau dapat dikembangkan bila ada komitmen dari perencanaan awal.

Transisi Ekonomi Berkeadilan

Masa depan Maluku Utara tidak bisa selamanya bergantung pada komoditas ekstraktif, yang justru merugikan warga dan daerah. Ketergantungan semacam itu rentan terhadap fluktuasi harga global dan akan mempercepat kerusakan ekologi pulau-pulau kecil yang rapuh. Seperti dikemukakan oleh Joan Martinez-Alier, seorang fungsionalis lingkungan, bahwa pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa mempertimbangkan kapasitas dukung ekologis akan menciptakan “developmental traps” (Martinez-Alier, 2002: 143).

Development traps, atau jebakan pembangunan merupakan kondisi ketika suatu negara atau wilayah mengalami stagnasi ekonomi dan sosial meskipun sudah melakukan berbagai upaya pembangunan (investasi infrastruktur, reformasi institusi, dll).

Memasukkan isu tambang ke dalam RPJMD akan menjadi titik masuk penting bagi Maluku Utara untuk merumuskan strategi transisi ekonomi, termasuk diversifikasi sektor kelautan, energi terbarukan, dan penguatan UMKM berbasis komunitas. Pendekatan ini tidak hanya akan melindungi lingkungan, tetapi juga memperkuat daya tahan sosial dan budaya masyarakat kepulauan.

Persoalan tambang bukan hanya soal izin dan produksi, tetapi juga menyangkut arah masa depan Maluku Utara sebagai provinsi kepulauan yang berkelanjutan. Menjadikan isu ini sebagai bagian dari RPJMD 2025–2029 adalah sebuah keharusan moral, politik, dan ekologis. Dengan memasukkan kajian tambang secara kritis, RPJMD tidak hanya akan menjadi dokumen teknokratis, tetapi juga refleksi atas kehendak kolektif masyarakat untuk membangun masa depan yang adil, lestari, dan inklusif.[]

BACA JUGA:“Jangan Jual Pulau Kami”

Komentar
Bagikan:

Iklan