Daya Saing Indonesia, Human Resources dan Entrepreneurship
Oleh Dr. Muharto, S.Pd.I., M.Si.
Dosen Politeknik Sains dan Teknologi Wiratama, Ternate.
Paradox of plenty adalah istilah yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Bangsa yang memiliki kekayaan sumber daya alam (natural resources), namun masyarakat masih jauh dari titik sejahtera. Walupun kondisi demikian sungguh melukai hati, namun itulah fakta yang harus kita terima dan sekaligus menjadi pemicu ikhtiar nalar kritis akademis.
Sungguh memprihatinkan, jika kita mengamati laporan lembaga internasional Word Economic Forum (WEF) mengenai The Global Competitiveness Index 2016–2020 Rankings. Laporan tersebut menunjukkan, dari 140 negara, posisi daya saing bangsa Indonesia sangat lemah dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, China, Malaysia dan Thailand. Tahun 2016-2017, daya saing Indonesia di rangking 41, Thailand 34, Malaysia 25, China 28, dan Singapura rangking 2. Pada 2018-2019, Indonesia 36, Thailanda, 32, Malaysia, 23, China, 27, dan Singapura, 3. Tahun 2019-2020, Indonesia 50, Thailand 40, Malaysia 27, China 28, dan Singapura, raking 1. (WEF, 2017, 2018, & 2020).
Ranking daya saing Indonesia berada di bawah posisi Singapura, China, Malaysia, dan Thailand. Di antara indikator komposit yang ditetapkan oleh WEF, yakni lingkunagan, modal insani, pasar, dan inovasi, hanya indicator market size yang sedikit unggul bagi Indonesia dengan ranking 7 pada tahun 2019. Keunggulan ini tidak lantas membawa keuntungan semata, namun berdampak pula pada defisit perdagangan internasional jika tidak diiringi oleh peningkatan SDM dan aktivitas Entrepreneur. Mengapa demikian? Karena market size dapat menyebabkan bangsa Indonesia menjadi target pasar bagi negera-negara asing.
Dalam hal entrepreneur, menurut laporan lembaga dunia Global Entrepreneur and Development Institut (GEDI) mengenai The Global Entrepreneurship Index 2019, Indonesia menempati ranking 75 dari 137 negara dengan nilai index 26.0. Ranking tersebut masih di bawah negara-negara tetangga (Ács et al, 2017:19). Banyak indikator yang menentukan tingkat daya saing suatu negara. Namun, lebih menarik membahas daya saing Indonesia ditinjau dari human resources dan entrepreneur, karena jumlah penduduk Indonesia 258 juta jiwa atau urutan keemapat di dunia. Tetapi kualitas SDM masih rendah, tahun 2017 misalnya, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia hanya 0,6%. Demikian halnya dengan kesedian bahan mentah/SDA begitu melimpah, namun aktivitas entrepreneur yang masih rendah di bawah 4%.
Human Resources dan Daya Saing Bangsa
Globalisasi merupakan suatu proses perkembangan dunia di berbagai sektor kehidupan. Konsekuensi logis dari era tanpa batas ini menciptakan persaingan (competitiveness) yang semakin tajam antarnegara. Hal ini sudah dikemukakan oleh Alvin Toffler dalam bukunya berjudul Power Shift, bahwa kita berada di era persaingan, olehnya itu kita dituntut untuk berkompetisi dan sekaligus harus memenangkan kompetisi tersebut.
Hasil analisa terhadap dinamika kehidupan secara global memberikan gambaran bahwa kehidupan masyarakat masa lalu, sekarang dan masa mendatang, bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diyakini akan menjadi penggerak utama daya saing dan kesejahteraan sosial. Kualitas SDM menjadi triger inovasi iptek dan percepatan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik.
Saat ini, persaingan teknologi memasuki fase revolusi industri 4.0 dan society 5.0, yang ditandai oleh sistem kerja terintegrasi, antara koneksi jaringan internet, transportasi, dan robotika. Era revolusi Industri 4.0 dan 5.0 memberikan harapan akses peluang kerja terbuka secara meluas, namun tantangan terbesarnya adalah rendahnya daya saing SDM Indonesia. Daya saing SDM Indonesia yang rendah akan kurang adaptif terhadap perubahan sosial dan kurang inovatif dalam menyelessaikan berbagai persoalan hidup.
Mencermati lemahnya daya saing negara Indonesia dibandingkan negara-negara kompetitornya di kawasan Asean adalah sinyal kekalahan kita sebelum bertarung. Jika tidak diantisipasi dengan berbagai langkah strategis dan kebijakan pengembangan SDM yang tepat, maka daya saing Indonesia akan semakin merosot. Selanjutnya akan berdampak pada banyak trubulensi dalam hal ekonomi makro, seperti pengangguran, dan kemiskinan. Tahun 2019, United Nations Development Programme (UNDP) mempublikasikan Human Development Index (HDI), Indonesia di urutan 107 sama dengan Filipina, kalah dengan Thailanda (79), Malaysia (62), China (85), dan Singapura, 11.
Jelaslah, bahwa walaupun negara Indonesia memiliki kekayaan SDA melimpah dibandingkan Singapura dan Malaysia, namun tidak menjadikan Indonesia memiliki posisi daya saing lebih baik dari kedua negara tersebut. Singapura dan Malaysia lebih baik daya saingnya karena lebih baik melakukan pengembangan SDM dengan kategori “Very high human development”, sedangkan Indonesia, high human development.
Entrepreneur dan Daya Saing Bangsa
Entrepreneur merupakan variabel penunjang daya saing suatu negara (Zoltán J, et al., 2017). Schumpeter, salah satu ekonom pengagas teori pertumbuhan ekonomi menyatakan entrepreneur mempunyai andil besar dalam pembangunan ekonomi melalui penciptaan inovasi, lapangan kerja, dan kesejahteraan. Tahun 2017-2018, dari 137 negara, Indeks entrepreneur Indonesia menempati rangking 94, Thailand 71, Malaysia 58, China 43, dan Singapura 27. Tahun 2019-2020, Indeks entrepreneur Indonesia di rangking 75, Thailand 54, Malaysia 43, China 34, dan Singapura, rangking 27. (Global Entrepreneur Competitiveness Index 2016-2018 report, GEDI, Washington, D.C., USA).
Rendahnya ranking Indonesia bukan hanya SDM, dalam aktivitas entrepreneur juga di bawah negara-negara tetangga. Jumlah entrepreneur Indonesia masih berkisar di bawah 4 persen. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing Indonesia (Gowel, 2014). Jika mengacu pendapat Schumpeter di atas, dapat dimaknai bahwa rendahnya aktivitas entrepreneur di Indonesia berdampak pada tingginya angka pengangguran. Yakni usia kerja yang tidak berada di tempat kerja, dan tidak pula menciptakan lapangan kerja.
Masa pandemic Covid-19 2020-2021 berdampak pada kematian banyak aktivitas entrepreneur, khususnya di bidang transportasi, perhotelan dan pariwisata. Hal ini semakin mempersulit perekonomian nasional dan sekaligus memperbesar kesenjangan sosial dan disparitas ekonomi. Gini ratio dua tahun terakhir (2019-2021) mengalami peningkatan serentak secara nasional, perkotaan dan pedesaan (BPS, 2021).
Berarti, industry lokal/kecil yang sangat merasakan dampak pandemi C-19. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan jasa kesehatan dan kegiatan sosial yang tumbuh 11,60 persen pada tahun 2020 atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun 2019 sebesar 8,69 persen. Dan sektor informasi dan komunikasi, mencatat pertumbuhan sebesar 10,58 persen pada 2020 atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada 2019 sebesar 9,42 persen (BPS 2021).
Kedua sektor tersebut digeluti oleh pelaku bisnis besar dan kurang memberikan tricle down effect pada masyarakat menengah ke bawah. Hal sebaliknya, terjadi kontraksi dengan pertumbuhan negatif pada bisnis lokal/kecil seperti transportasi, pergudangan, dan sektor pariwisata, yang selama ini memiliki hight multiplier effect dan tricle down effect bagi masyarakat menengah ke bawah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pandemi covid-19 membawa sengsara bagi bisnis kecil, dan nikmat bagi bisnis besar.
Negara-negara yang memiliki kualitas SDM dan aktivitas entrepreneur yang tinggi selalu menunjukkan daya saing lebih baik. Kualitas SDM dan entrepreneur menjadi kekuatan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengarah pada peningkatan produktivitas ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat suatu bangsa. Sedangkan negara-negara yang memiliki SDM dan entrepreneur rendah selalu menunjukkan ketergantungan teknologi dan produk inpor.
Indonesia sebagai negara yang kaya SDA dan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, maka pemerintah harus mengevaluasi strategi serta kebijakan pengembangan SDM dan entrepreneur. Selanjutnya, membuat suatu model pengembangan SDM dan entrepreneur yang menjamin Indonesia dapat secara mandiri mengelola SDA. Kegagalan dalam mengelola SDM dan SDA dapat menjadikan Indonesia berdaya saing rendah, menjadi sasaran pasar bagi negara-negara asing. Setiap warga negara, agar berpartisipasi dalam mengembangkan diri melalui dunia pendidikan, dan berani menjadi pelaku entrepreneur.[]