Tangan Ibu Tersulam Perjuangan
Oleh M. KUBAIS M. ZEEN
Editor dan Penulis Freelancers
“Untuk siapa diriku saat ini, dan harapanku di masa depan, aku berhutang pada Ibu-malaikatku.”
–Abraham Lincoln.
Jika John Steinbeck menjadi buruh dan jurnalis di New York, kemudian penulis roman terkenal di dunia karena sedari kecil didorong oleh sang ibu untuk rajin membaca buku. Lain halnya dengan Harriet Beecher Stowe, JK Rowling, dan Hadijah Gafur.
Stowe lahir dan besar dalam keluarga terpandang: hartawan, berpendidikan, dan memperoleh segala keistimewaan. Suaminya seorang profesor, yang kurang gairah. Namun, ia tak tega melihat keluargnya, dan kaum terpandang ketika itu, semena-mena memperlakukan para budak berkulit hitam dari Afrika. Anak-anak para budak dipisahkan dari ibu mereka. Sebagai seorang ibu, Stowe merasakan perasaan mereka.
Ia kemudian melawan penindasan terhadap sesama manusia ini dengan pena. Novel yang ditulisanya, Uncle Tom’s Cabin (1852) menyulut perang sipil tahun 1861, demi membebaskan perbudakan. ”Jadi, kau wanita kecil yang menulis buku yang memulai perang besar ini,”ujar Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln saat menyambut Stowe yang ia undang ke Gedung Putih. Uncle Tom’s Cabin menjadi salah satu novel paling berpengaruh di dunia. Penyair M. Aan Mansyur membisikkan kisah itu dalam esainya.
Setelah rumah tangganya seumur rintik hujan sesaat dengan suaminya yang jurnalis di Portugal, Rowling membawa anak-anaknya yang masih belia kembali ke negaranya, Inggris. Ia berasal dari keluarga miskin. Pengangguran. Belitan kemiskinan dan jaminan sosial yang jauh dari genggamannya, hampir membuatnya menyudahi hidup. Tapi, di titik yang ia sebut paling gelap inilah, ada seberkas cahaya di ujung terwongan panjang. Dengan modal sebuah mesin ketik tua dan satu ide besar, ia mulai menulis serial Harry Potter, diterbitkan penerbit kecil, setelah berkali-kali ditolak penerbit besar.
Serial Harry Potter menyihir pembaca di berbagai belahan dunia, anak-anak maupun orang dewasa, dan kakek-nenek. Lalu, bagimana dengan Hadijah Gafur? Ibunda ini hidup di zaman kekuasaan yang tidak menyenangkan. Ia, bertahan hidup dengan peluh di lahan pertanian bersama suaminya di pelosok Halmahera Selatan, Kusubibi. Kemiskinan membuatnya tidak mengenyam pendidikan formal, hanya mengenal aksara Arab dari guru ngaji. Begitu juga suaminya, imam masjid, yang tak digaji atau dapat bonus umroh dan naik haji seperti belakangan.
Kendati begitu, dari tangannya, bersemai benih perjuangan pada diri anaknya, Jasri Usman. Lima puluh satu tahun lalu, baju menjadi barang yang paling istimewa bagi Jasri. Agar punya baju, ia harus bersabar menunggu hari raya tiba, itu pun kalau orangtuanya kelebihan rezeki. Jika tidak, ia harus menunggu lagi hari raya berikut. Begitu seterusnya.
Bibirnya bergetar, butiran embun hampir memenuhi matanya saat ia mengenang suatu peristiwa yang tak pernah dilupakannya. “Waktu saya mau masuk Sekolah Dasar, tak ada apa-apa sama sekali. Lalu, ibu mencari baju kakak saya. Ada baju kakak yang sudah kekecilan. Ibu menggunting baju itu dan menjahit dengan tangannya sendiri, dengan benang dari daun nenas yang ia buat sendiri. Bagian depan baju, ibu menyulam bunga matahari yang besar….Saya selalu memeluk baju itu.”
Dari baju sulaman sang Ibu itulah, ia memulai perjuangannya: sekolah tanpa sepatu alias telanjang kaki, sholat, dan mengaji. Di balik baju, terbesit hikmah. Mencari baju, pertanda ada solusi setiap masalah, tak tunduk pada kondisi. Menyulam dan memintal sendiri benang dari daun nenas yang diolah sendiri, mengajarkan pengetahuan, skil, kesabaran, dan kemandirian. Bunga matahari yang besar, pertanda hari esok akan cerah. Selalu ada harapan di balik peluh setiap perjuangan yang pilu. Sekolah dan mengaji dengan baju yang selalu dipeluk itu, mengajarkan untuk lapang dada, selalu bersyukur, dan berusaha membuat orang lain tersenyum bahagia, sekecil apapun itu.
Banyak jalan terbentang, dan ia memilih politik yang memikat hatinya sejak mahasiswa. Jatuh bangun dalam beberap kali pemilihan wakil rakyat, tak membuatnya pensiun dini dari panggung politik. “Saya tidak memikirkan kekalahan,”tandasnya, mengingatkan saya ungkapan terkenal filsuf Prancis, Maurice Merleau-Ponty: ”dunia bukan apa yang saya pikirkan, melainkan apa yang saya jalankan.” Rayuan manis seorang karibnya yang pengusaha tajir saat pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota Ternate tahun lalu agar ia tak mencalonkan diri pun ditampiknya,“bisnis bukan dunia saya. Dunia saya itu politik,”sebagai jembatan untuk membuat orang lain, apapun latar belakangnya, menyungging senyum bahagia.
Begitu besar pengaruh seorang ibu, entah ibu itu seorang bangsawan, hartawan, atau bukan kedua-duanya. Miskin. Bahkan, dalam kondisi hidup yang paling pilu sekalipun, seorang ibu berusaha memberi sesuatu yang berarti untuk anaknya, dan orang banyak. Dari tangan Stowe, perbudakan manusia beda warna kulit di negaranya mulai dilawan, dihentikan. Rowling menulis serial Harry Potter yang sangat berpengaruh di dunia saat ini. Sebuah baju yang disulam Ibu Hadijah, menjadi benih perjuangan hidup anaknya, yang terpilih menjadi Wakil Wali Kota Ternate, tahun lalu.
Sungguh, teramat banyak kisah-kisah semacam itu berserak. Karena itu, jangan setitikpun melukai hati maupun tubuh ibumu, berkata “ah” pun tak boleh. Juga perempuan yang belum dan akan menjadi ibu. Karena, ”tak ada orang di dunia ini yang bisa menggantikan ibumu. Benar atau salah, dalam pandangannya kau selalu baik. Dia mungkin memarahimu untuk hal-hal kecil, tapi tidak pernah untuk hal-hal besar,”Harry S. Truman membisikkan ini padaku, saat menyudahi tulisan ini. Mama, selamat Hari Ibu.**