Sosiologi Bagi Mahasiswa

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
_”Sosiologi mengajarkan mahasiswa untuk tidak hanya hidup dalam dunia, tetapi membaca dunia, dengan penuh kepekaan…”_
Tulisan sederhana ini penulis awali dengan satu pertanyaan yang kerap menganggu : “Mengapa kita perlu belajar dan mempelajari sosiologi?”
Tentu, dalam keraguan itulah sebenarnya sosiologi menemukan pijakannya di dalam pertanyaan-pertanyaan paling dasar tentang kehidupan.
Sosiologi, kata Anthony Giddens, merupakan “studi sistematik tentang masyarakat manusia” (Giddens, 2010 : 2).
Tetapi bagi mahasiswa, sosiologi bukan sekadar teori-teori tentang masyarakat yang jauh di luar diri mereka. Sosiologi merupakan cermin. Ia mengajarkan mahasiswa untuk tidak hanya hidup dalam dunia, tetapi membaca dunia, dengan penuh kepekaan terhadap ketidakadilan, perubahan, dan harapan.
Dalam tradisi sosiologi, tidak ada hal yang terlalu remeh untuk dipertanyakan. Mengapa kita berpakaian seperti ini? Mengapa kita duduk dalam ruang kuliah yang terpisah berdasarkan program studi? Mengapa ada ketimpangan antara kampus negeri dan swasta? C. Wright Mills menyebut kemampuan ini sebagai sociological imagination, imajinasi sosiologis, yakni kemampuan untuk menghubungkan pengalaman pribadi dengan struktur sosial yang lebih luas (lihat, Mills, 2000 : 6).
Bagi mahasiswa, membangkitkan imajinasi sosiologis berarti memahami bahwa kegelisahan pribadi, sulitnya mencari kerja, mahalnya biaya pendidikan, kecemasan tentang masa depan, semua itu tidak lahir dari kekurangan individu semata, tetapi dari pola-pola sosial yang lebih besar. Dengan begitu, mahasiswa belajar untuk tidak hanya mengeluh, tetapi menganalisis.
Dalam dunia yang cepat berubah, mahasiswa perlu lebih dari sekadar hafalan. Mereka membutuhkan kepekaan kritis. Sosiolog terkemuka, Pierre Bourdieu (1990) mengingatkan kita bahwa kekuasaan bekerja bukan hanya dalam bentuk paksaan terang-terangan, tetapi melalui kebiasaan sehari-hari, dalam apa yang dianggap “alami”.
Seorang mahasiswa yang mempelajari sosiologi akan bertanya: mengapa hanya sebagian kecil orang yang bisa mengakses pendidikan tinggi? Mengapa dalam kampus pun, ada strata sosial yang halus tapi nyata?
Sosiologi mengajarkan bahwa realitas itu tidak statis. Dunia bisa dibaca, dipahami, dan—pada akhirnya—diubah.
Sosiologi merupakan ilmu yang lahir dari empati. Sosiologi mengajarkan kita untuk melihat dari mata yang lain, mendengar dari telinga yang lain, dan merasakan dari hati yang lain. Seperti dikatakan Emile Durkheim (1858-1917), tugas sosiologi bukan hanya menjelaskan fakta sosial, tetapi memahami mereka sebagai “cara-cara bertindak, berpikir, dan merasakan yang berada di luar individu dan memaksakan dirinya kepadanya.
Mahasiswa yang belajar sosiologi tidak hanya menjadi sarjana yang kritis. Ia juga menjadi manusia yang lebih peka : terhadap kemiskinan yang tersembunyi di balik gedung megah, terhadap ketidaksetaraan yang membalut kehidupan sehari-hari, terhadap perjuangan minoritas yang sering dibungkam.
Belajar sosiologi, pada akhirnya, adalah belajar menulis kemanusiaan — dalam pikiran, dalam tindakan, dan dalam cita-cita.
Di zaman ketika informasi membanjiri kita tanpa henti, sosiologi menawarkan sesuatu yang langka : kemampuan untuk memilah, memahami, dan mempertanyakan.
Bagi mahasiswa, belajar sosiologi adalah perjalanan pulang ke pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang siapa kita, di dunia macam apa kita hidup, dan dunia seperti apa yang ingin kita bangun.
Sebab di balik setiap teori, di balik setiap statistik, sosiologi tetaplah ilmu tentang manusia, tentang masyarakat, dan tentang kita. Tabea.[]
#renungansosiologi-1