Publikamalut.com
Beranda News Menulis sebagai “Media”

Menulis sebagai “Media”

Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.

Tahun 1991, saat itu kepala saya masih gundul alias botak, karena sebuah ”tradisi” buruk yang dilegalkan oleh Perguruan Tinggi (PT). Tradisi penyambuatan mahasiswa baru pada PT di Indonesia sudah sejak lama berlangsung, ketika mahluk yang bernama PT muncul di Indonesia. PT di Indonesia yang dibawa oleh kolonialis Eropa (Belanda) pun meniru tradisi penyambutan mahasiswa baru di negara pembawanya.

Sayangnya, tradisi perpeloncoan dan kekerasan, bukanlah tradisi PT di Eropa melainkan tradisi beberapa PT di Amerika Serikat (AS) yang telah lama dilarang, walaupun tidak hilang sama sekali hingga saat ini. Perpeloncoan tercatat di AS sejak tahun 1600-an, ketika para mahasiswa Oxford University mengunjungi Harvard dan memperkenalkan fagging (membanting tulang, bekerja keras) serta aksi-aksi perpeloncoan lainnya (Lipkins, 2006).

Di Indonesia, perpeloncoan dan kekerasan terhadap mahasiswa baru mencapai puncak pada tahun 1990-an, ketika beberapa mahasiswa baru tewas setelah dianiaya oleh seniornya. Perpeloncoan dan kekerasan menurun ke SMU dan SMP yang marak sejak akhir tahun 1990-an hingga saat ini, yang juga menelan korban tewas. Tahun 2000-an tradisi praktik perpeloncoan mulai dilarang di PT.

Tidak ada alasan untuk membela tradisi perpeloncoan dan kekerasan. Perpeloncoan dan kekerasan hanya akan melahirkan balas dendam yang terus berputar membentuk apa yang oleh Dom Helder Camara (2001) disebut sebagai ”spiral kekerasan”.

Pada saat itu, sebagai mahasiswa baru, saya memprotes cara tersebut, walaupun itu hanya disampaikan ke sesama teman. Beberapa teman saya waktu itu pingsan ketika harus berenang di rawa-rawa berlumpur. Sialnya perpeloncoan dan kekerasan di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, pada saat itu, di”islamkan” dengan mencomot Bahasa Arab ”at-taaruf” yang artinya perkenalan.

*****

Di saat masih botak itu, saya menulis di Harian Fajar (tanggal dan bulan, saya lupa, karena tulisan tersebut pun saya tidak tahu di mana rimbanya) dengan judul ”Tragedi Irak, Antara Amerika dan PBB”. Tulisan ini adalah bagian dari protes saya, yang juga sangat tidak masuk akal. Karena obyek yang saya protes adalah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), AS, dan negara-negara Islam.

Tidak masuk akal, karena seorang mahasiwa baru dan masih gundul, memprotes kepada badan dunia PBB, AS, dan negara-negara Islam. PBB dari dulu hingga saat ini adalah kaki tangan AS. AS sendiri adalah polisi dunia yang selalu campur tangan terhadap negara lain dan pembela utama dan terdepan negara Israel. Sedangkan negara-negara Islam adalah kumpulan sebagian negara-negara miskin, terbelakang, rajin berkonflik, dan bergantung pada negara-negara maju.

Media menyampaikan ”Kritik dan Protes”

Dengan menulis saya bisa menyampaikan kritik dan memprotes apa saja, yang saya anggap tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kritik dan protes yang disampaikan dalam bentuk tulisan, baik dengan dimuat di media cetak, media online, maupun diterbitkan dalam bentuk buku, akan menjangkau audiens yang lebih besar, daripada hanya disampaikan di antara sesama teman, sesama tetangga, sesama keluarga, atau mungkin hanya di dalam rumah sendiri yang didengar oleh keluarga.

Dengan menulis, setidaknya kejengkelan terhadap situasi yang buruk, seperti kekerasan, korupsi, dan perilaku buruk para elit, dapat terobati. Ini karena, tidak semua orang di sekitar kita mau mendengar unek-unek atau kenjengkelan kita. Mungkin ada orang yang mau mendengar unek-unek kita tapi tidak berada di sekitar kita. Melalui tulisan orang tersebut dapat dijangkau.

Media menyampaikan ”Ide”

Saya sangat yakin, saya punya ide atau gagasan dan semua orang punya ide, terlepas apakah ide tersebut berkualitas atau tidak. Tapi tidak semua orang mempunyai ”panggung” untuk menyampaikan ide. Demikian juga, tidak banyak orang yang mau mendengarkan ide kita.

Hanya orang-orang tertentu, yang memiliki panggung untuk menyampaikan ide. Sekalipun ide yang disampaikan oleh mereka yang memiliki panggung—karena kekuasaan, jabatan, dan sejenisnya—pun berkualitas rendah atau tidak berkualitas.

Saya harus menulis, karena dengan menulis saya dapat menyampaikan ide saya ke publik, tidak hanya kepada orang-orang di sekitar saya. Terlepas apakah ide yang saya sampaikan lewat tulisan tersebut diapresiasi atau tidak oleh publik. Dalam perjalanan, beberapa ide saya menuai protes, kritik, dan simpati, atau kontroversial.

Media menyampaikan ”Ilmu dan Teknologi”

Ketika masih duduk di Madrasah Aliyah Alkhairaat Ternate (1988-1991), saya membaca buku-buku dari beberapa ilmuwan dan pemikir berkaliber internasional. Saya telah membaca karya Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. M. Amien Rais, K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Djalaluddin Rakhmat, Dr. Maurice Bucaille, Sayyid Qutb, Abd A’la Al-Maududi, Dr. Moh. Hatta, dan beberapa lainnya saya tidak ingat lagi. Buku-buku mereka saya beli di Selecta, sebuah toko buku yang populer saat itu di Kota Ternate.

Saya juga membeli Majalah Tempo, Panji Masyarakat, dan Media Dakwah secara tidak teratur. Tahun 1989 saya menemukan Ulumul Qur’an, sebuah Jurnal yang dipimpin oleh Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo di toko buku tersebut.

Dari bacaan-bacaan tersebut, kemudian meyakinkan saya, bahwa hanya dengan menulis, berbagai ilmu dan teknologi dapat disampaikan kepada pihak lain, yang kemudian terus dikembangkan, dikoreksi, diperbaiki, dan dimanfaatkan.

Karena jumlah penulis yang minim, maka Indonesia dengan penduduk mencapai lebih 270 juta jiwa hanya bisa menerbitkan sekitar 24.000 judul buku baru/tahun, sementara Turki dengan penduduk sekitar 83 juta jiwa telah menerbitkan lebih dari 43.000 judul buku baru/tahun.

Tidak perlu dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju. Yang mau ditunjukkan dalam perbandingan tersebut adalah, negara-negara yang menerbitkan buku lebih banyak pasti lebih maju, baik jika diukur dengan jumlah penduduk secara kuantitatif maupun presentatif. Karena buku adalah media untuk menyampaikan ilmu dan teknologi.

Media Membangun ”Peradaban”

Tinggi dan majunya peradaban suatu bangsa selalu ditandai atau linier dengan produksi buku. Tidak mungkin ada buku, bila tidak ada orang yang menulis. Buku tidak hanya memberi kontribusi pada kemajuan suatu peradaban, tetapi juga menjadi ”saksi” dengan mendokumentasikannya, sehingga kemajuan tersebut ikut dirasakan dan dinikmati oleh umat manusia yang hidup di ruang dan waktu yang berbeda.

Kemajuan peradaban Yunani, Romawi, India, China, Islam, dan Eropa bukanlah sesuatu yang asing bagi umat manusia yang tidak hidup dan terlibat langsung di dalamnya. Yang mengagumkan dari kemajuan raksasa-raksasa peradaban tersebut adalah keterkaitan-kelanjutan dengan produksi dan distribusi ilmu, teknologi, sastra dan seni atau dengan kata lain keterkaitan produki budaya. Yunani adalah peletak peradaban yang mulai menempatkan buku sebagai bagian dari produksi dan distribusi budaya. Dengan kata lain ”peradaban buku” mulai dibangun oleh Yunani, sekalipun produksi dan distribusi buku saat itu masih di seputaran elit.

Islam yang membangun peradaban buku dengan melanjutkan tradisi Yunani dan Romawi mulai memperlebar produksi dan distribusi ilmu, teknologi, sastra dan seni, sekalipun tetap didominasi oleh elit. Namun peradaban buku dunia Islam yang populer di Irak dan Cordoba (Spanyol) telah memperkenalkan perpustakaan.

Eropa memulai peradaban buku dengan menggunakan rujukan-rujukan dalam Islam. Tradisi Yunani, Romawi, dan Islam bercampur-aduk menjadi peletak dasar pengembangan peradaban Eropa (dan Amerika Utara) yang kini menjadi penguasa dunia dalam ilmu, teknologi, sastra, dan seni.

Di pihak lain lain, India dan Tiongkok (China) adalah dua raksasa ilmu, teknologi, sastra dan seni yang telah mengenal dan membangun peradaban buku sejak lama. Bahkan ”kertas” yang kemudian menjadi faktor penting dalam peradaban buku mulai populer di Tiongkok berkat kreativitas Tsa Lun. Bila saat ini India dan Tiongkok menjadi raksasa ekonomi yang perlahan menggeser raksasa Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang, maka siapa pun tidak perlu terkejut. Kedua negara tersebut telah membangun peradaban ilmu, teknologi, sastra, dan seni jauh sebelum raksasa-raksasa yang disebut terakhir.

Dengan kata lain, India dan Tiongkok telah membangun fondasi yang cukup lama untuk menuju dan mencapai masa keemasan saat ini dan beberapa tahun ke depan. Kedua negara tersebut memiliki tradisi yang sangat kuat dalam pengembangan ilmu, teknologi, sastra dan seni yang berbasis pada buku. Saat ini India dan Tiongkok merupakan kelompok negara produsen buku terbesar di dunia. India menerbitkan 90.000 buku/tahun, sedangkan Tiongkok memproduksi 440.000 buku/tahun. Hanya Amerika Serikat (304.912 buku/tahun), Inggris (184.000 buku/tahun), dan Rusia (101.981 buku/tahun) yang berada di atas dua negara tersebut. Jangan lupa, saat ini China menjadi produsen perangkat komputer (dan perangkat elektronik) terbesar di dunia, sedangkan India menjadi negara penghasil tenaga IT (information technology) berkelas dunia terbesar di dunia.

Yang perlu dicatat dari semua rangkaian kemajuan peradaban dunia adalah tradisi membaca dan menulis yang kuat dari semua peradaban besar. Nama-nama besar yang berkontribusi pada peradaban besar adalah pembaca buku kelas berat, pemikir, ilmuwan, teknolog, pemimpin, dan penulis.

Dari Mana Saya Memulai

Karena menulis menjadi media bagi saya, maka mau tidak mau saya harus menulis. Saya tidak berarti apa-apa jika saya tidak menulis. Sebagai manusia, suatu waktu saya akan meninggalkan bumi ini, dan hanya dalam hitungan jam mungkin saya sudah terlupakan, tidak hanya teman dan rekan saya, tetapi juga keluarga. Orang tidak pernah tahu lagi, apakah ada orang yang pernah hidup bernama M. Ghufran H. Kordi K. Cucu saya pun mungkin tidak pernah mengingat saya lagi. Jadilah saya hanya numpang lewat, memenuhi bumi, dan mengotori administrasi kependudukan di bumi ini.

Dengan menulis tidak hanya keluarga saya yang akan mengingat saya, tetapi juga orang-orang lain yang membaca tulisan saya atau membeli buku yang saya tulis. Satu lagi, menulis menjadi media bagi saya untuk meninggalkan nama. Pepatah kuno ”manusia mati meninggalkan nama” itu benar, namun hanya di batu nisan. Saya tidak ingin hanya meninggalkan nama di batu nisan. Orang-orang yang mati karena kecelakaan atau bencana, dan mayatnya tidak ditemukan juga tidak mempunyai batu nisan. Jadi tidak semua orang yang mati meninggalkan nama di batu nisan.

*****

Karena itu, saya mulai menulis. Dan saya telah menulis segala macam tulisan ketika masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Alkhairaat Ternate atau di bangku SMA/SMU. Artinya, sangat terlambat dibandingkan dengan Faiz, Qurrota Aini, Ghefira, dan lain-lainya, yang sudah mulai menulis sejak umur 7 tahun.

Tapi tidak apa-apa, saya harus menulis. Ketika di bangku Madrasah Aliyah Alkhairaat Ternate, saya selalu membuat makalah yang kemudian didiskusikan di kelas ketika guru pelajaran berhalangan hadir. Sebagai Ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) saat itu, saya juga menyusun naskah siaran di RRI Ternate untuk dua mingguan yang disiarkan tiap kamis sore bertema ”Shautul Khairaat”.

Saya selalu menulis, dan saya tidak tahu kategori apa tulisan yang saya buat, yang penting saya menulis dari apa yang terlintas di kepala saya. Suatu waktu saya membuat makalah tentang ”Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional” yang akan dipresentasikan di Universitas Khairun (UNKHAIR) Ternate dalam rangka Peringatan Hari Sumpah Pemuda. Semua Sekolah SMU/SMK/MA di Kota Ternate saat itu diundang, tentunya Ketua OSIS-nya yang harus siap untuk membuat makalah dan mempresentasikan.

Untuk kepentingan undangan dari UNKHAIR, guru bahasa Inggris saya, yang juga bernama seperti saya, Gufran Ali Ibrahim (pernah menjabat sebagai Rektor UNKHAIR) meminjamkan lebih dari selusin buku dan dua bundel kliping yang terkait dengan Bahasa Indonesia. Dengan modal itu, saya membuat sebuah makalah setebal 21 halaman, yang kemudian dipres dengan bantuan guru saya itu menjadi 6 halaman. Ketika dipresentasikan di UNKHAIR, beberapa mahasiswa pun tidak yakin bahwa makalah itu dibuat oleh saya. Saya tidak tahu tingkat berapa atau semester berapa si mahasiswa tersebut, tapi saya yakin mereka tidak bisa membuat makalah seperti itu.

Saya rajin membuat tulisan yang tidak berkategori, namun digunakan untuk latihan pidato/ceramah, khotbah jumat, dan diskusi-diskusi di kelas. Beberapa tulisan saya disebut oleh kawan saya sebagai ”puisi”.

Kebiasaan saya menulis apa saja ketika di bangku Madrasah Aliyah Alkhairaat Ternate, terus berlanjut hingga di bangku kuliah, di Jurusan Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan dab Ilmu Kelautan, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Saya tetap menulis dari apa yang saya anggap tidak benar, kritik, protes, atau ada hal yang ingin saya sampaikan. Karena itu, tulisan saya tidak mengenal batas atau spesialisasi tertentu.

Ketika tulisan saya tidak dimuat oleh media yang saya kirimi, pun bagi saya tidak masalah, saya tetap menulis. Urusan muat-memuat tulisan di media adalah urusan mereka yang ada di media, bukan urusan saya, urusan saya adalah menulis.

Saya tidak pernah belajar menulis dari buku-buku mengenai tulis-menulis, tapi saya belajar menulis dari tulisan atau buku yang saya baca. Ketika saya menulis buku tipis berjudul ”Parameter Kualitas Air”, saya harus membaca puluhan buku perikanan dan kelautan, baik buku-buku teks maupun buku-buku praktis. Buku ”Parameter Kualitas Air” saya tulis tahun 1992, ketika saya duduk di semester tiga, dan ”bahan baku” buku tersebut berasal dari Laporan Praktek Mata Kuliah Limnologi (ilmu tentang air tawar).

Tidak ada konsultan dan tidak ada teman diskusi dalam penulisan buku ”Parameter Kualitas Air”. Saya masuk-keluar toko buku dan perpustakaan untuk mencari bahan-bahan pendukung bagi pengembangan buku tipis itu. Demikian juga, saya tidak pernah bertanya, saya mencari alamat penerbit pada buku-buku yang ada, dan mengirimkan naskah ”Parameter Kualitas Air”.

Sekalipun belum ada informasi dari penerbit mengenai naskah ”Parameter Kualitas Air”. Atau penerbit mengembalikan naskah tersebut, saya tidak pernah kecewa, saya tetap menulis, baik menulis artikel maupun menulis buku.

Membaca dan Membaca

Untuk bisa terus menulis, tentu seseorang harus selalu membaca. Dengan membaca (apa saja), perkembangan informasi, ilmu, dan teknologi selalu diikuti. Membaca dan menulis adalah bagian dari ketrampilan berbahasa, dan menulis itu sendiri adalah teknik berbahasa secara baik dan benar. Sebaik dan sehebat apa pun seorang berbahasa, ketika disampaikan secara lisan atau tuturan, maka pasti ditemukan kekurangan. Berbeda ketika bahasa itu disampaikan dalam bentuk tulisan, maka akan lebih baik.

Karena itu, membaca selain mengikuti perkembangan, juga akan selalu menuntut pembaca untuk berbahasa secara baik, lisan maupun tulisan. Informasi, ilmu, dan teknologi selalu tersaji dalam bentuk tertulis, karena itu setiap orang harus membaca untuk mendapatkannya.

Membaca juga merangsang imajinasi, ingatan, dan kreativitas. Tulisan-tulisan berkualitas dalam bentuk apa pun, yang dilahirkan oleh penulis-penulis ternama, sudah pasti penulis-penulis tersebut kuat dalam membaca. Penulis 4 novel (Laskar Pelagi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov) bestseller Andrea Hirata, menyatakan dirinya adalah penulis ”kemarin sore” (Kompas, 12/02/2010). Tapi Andrea Hirata adalah pembaca buku yang rajin sejak di Sekolah Dasar.

Harus Jujur

Ini terkait dengan etika, Jujur. Untuk memperkuat ide atau pendapat, setiap penulis mengutip atau merujuk dari berbagai sumber. Semua kutipan dan rujukan harus disebut. Pernyataan, kata-kata bijak, istilah khusus, hasil penelitian, dan sejenisnya, harus disebutkan. Tentu kutipan dan rujukan mempunyai teknik penulisan yang bermacam-macam.

Dengan cara itu, setiap penulis selalu menghargai karya orang lain, dan penghargaan semacam itu terus berlanjut dalam sebuah tradisi kejujuran. Penjiplakan atau plagiat akan merusak kreativitas dan martabat.

Menulis, Menulis, dan Menulis

Untuk dapat menulis, seorang memang harus terus menulis. Setiap penulis akan mengalami jalan buntu ketika memulai menulis. Karenanya menulis harus dilakukan berulang-ulang, sampai menulis menjadi kebiasaan.

Ketika menulis telah menjadi kebiasaan, maka menulis dapat dilakukan di mana saja, tanpa mengalami kesulitan. Penulis ternama semacam Emha Ainun Nadjib, Buya Hamka, Arswendo Atmowiloto, Goenawan Mohammad, Remy Sylado, Pramoedya Ananta Toer, Marga T, Ayu Utami, Taufik Ismail, Abdurrahman Wahid, untuk menyebut beberapa nama, adalah penulis yang dapat menulis di mana saja tanpa mengalami kesulitan. Seperti berenang, seseorang tidak perlu membaca buku tentang renang, tapi silahkan berenang. Demikian juga menulis, hanya dengan terus menulis, seseorang bisa menulis kapan saja dan di mana saja.[]

(Artikel ini pernah dimuat di dalam buku kumpulaan tulisan berjudul “Tips Menjadi Menulis”, Penerbit Rayhan Intermedia, Makassar, 2017).

 

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan