Publikamalut.com
Beranda Ruang Kata Kampus : Kesadaran Intelektual dan Ekologis

Kampus : Kesadaran Intelektual dan Ekologis

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

_”…tugas kampus hari ini adalah membalikkan arah: dari alienasi ekologis menuju rekonsiliasi ekologis“_

Dalam era krisis iklim global dan degradasi lingkungan yang kian akut, peran institusi pendidikan tinggi atau kampus menjadi makin signifikan. Kampus bukan sekadar tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar, tetapi juga merupakan ruang produksi pengetahuan, pembentukan nilai, dan perubahan sosial.
Olehnya itu, persoalan lingkungan bukan semata urusan aktivis atau pemerintah, melainkan juga bagian integral dari tanggung jawab kampus dalam menjawab tantangan zaman.

Kampus diharapkan tidak hanya menjadi pusat inovasi teknologi hijau, tetapi juga benteng etika ekologis yang mampu mendorong perubahan perilaku masyarakat menuju keberlanjutan.

Krisis lingkungan saat ini ditandai oleh berbagai problematika: pemanasan global, pencemaran air dan udara, pengrusakan dan pengerukan hutan, perampasan ruang hidup, punahnya spesies, dan urbanisasi tak terkendali. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2023, suhu global telah meningkat lebih dari 1,1°C dibandingkan era pra-industri, dan jika tren ini berlanjut, konsekuensinya akan sangat merugikan manusia dan ekosistem (IPCC, 2023 : 10).

Dalam konteks ini, kampus sebagai pusat keilmuan memiliki peran penting untuk menjawab persoalan lingkungan. Namun, kenyataannya, belum semua institusi pendidikan tinggi menjadikan isu lingkungan sebagai bagian dari agenda strategis. Banyak kampus masih terjebak dalam orientasi akademik yang antroposentris dan terfragmentasi, tanpa pendekatan interdisipliner yang dibutuhkan untuk memahami kompleksitas ekologi.

Demikian pula, kesadaran ekologis di kampus seharusnya tidak berhenti pada kegiatan simbolik seperti penanaman pohon atau kampanye hemat energi, melainkan menyentuh aspek struktural dan kultural dalam kehidupan akademik. Hal ini mencakup integrasi kurikulum berwawasan lingkungan, pembangunan kampus hijau (green campus), serta penelitian- penelitian yang mengedepankan keberlanjutan sosial dan ekologis.

Menurut Stephen Sterling dalam Sustainable Education, pendidikan tinggi memiliki dua pilihan: mempertahankan sistem pendidikan lama yang mengabaikan krisis ekologis, atau melakukan transformasi radikal menuju pendidikan berkelanjutan (sustainable education) yang mengajarkan cara hidup dalam batas-batas planet (Sterling, 2010 : 28). Kampus yang visioner harus memilih jalan kedua.

Contoh baik bisa dilihat dari beberapa perguruan tinggi yang mulai mengembangkan inisiatif Green Campus dengan mendorong energi terbarukan, pengelolaan sampah terpadu, dan transportasi ramah lingkungan. Di luar negeri, Universitas Wageningen di Belanda, secara eksplisit bahkan menyatakan misi mereka sebagai “pionir dalam kehidupan berkelanjutan” (WUR, 2022).

Tantangan

Namun, ada ironi dalam relasi kampus dan lingkungan: tidak sedikit universitas yang justru ikut terlibat dalam proyek yang merusak lingkungan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya keterlibatan akademisi dalam mendukung studi kelayakan proyek tambang atau reklamasi, yang pada akhirnya memperkuat hegemoni kapitalisme ekstraktif. Dalam studi yang dilakukan oleh Naomi Klein, dijelaskan bahwa sains dan teknologi kerap diseret untuk melegitimasi ekspansi industri yang mengabaikan daya dukung lingkungan (Klein, 2014 : 88–89).

Tantangan lainnya adalah ketimpangan antara pengetahuan ekologis yang diproduksi dan praktik keseharian kampus itu sendiri. Misalnya, banyak kampus masih menghasilkan sampah plastik dalam jumlah besar, penggunaan energi fosil yang tinggi, dan kurangnya ruang hijau. Ini menunjukkan bahwa kesadaran ekologis belum sepenuhnya menjadi nilai institusional.

Di tengah stagnasi institusional, gerakan mahasiswa dan komunitas lingkungan di kampus menjadi kekuatan penting. Mereka memainkan peran sebagai motor perubahan, baik melalui advokasi kebijakan kampus ramah lingkungan, edukasi publik, maupun aksi langsung. Gerakan seperti “Fridays for Future” yang terinspirasi oleh Greta Thunberg, juga menjalar ke banyak kampus di dunia, termasuk Indonesia.

Dalam pandangan Andres R. Edwards melalui karyanya The Sustainability Revolution, menyatakan, transformasi sosial yang dibutuhkan untuk menjawab krisis lingkungan hanya mungkin tercapai jika generasi muda terlibat aktif dalam gerakan perubahan, baik di tingkat lokal maupun global (Edwards, 2014 : 106).

Di Indonesia, beberapa kampus telah memiliki Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau komunitas yang bergerak di bidang lingkungan, seperti Eco Campus Community, Kopral Hijau, dan Green Movement. Aktivitas mereka meliputi daur ulang, penanaman pohon, pengawasan proyek lingkungan, hingga riset partisipatif bersama masyarakat sekitar kampus.

Untuk menjadi kampus yang berkontribusi pada penyelamatan lingkungan, diperlukan transformasi struktural dan kultural. Setidaknya terdapat lima langkah penting yang perlu diambil.

Pertama, Reformasi Kurikulum, yaitu menyisipkan pendidikan lingkungan dalam semua disiplin ilmu, baik di ilmu sosial, teknik, maupun kesehatan, sehingga membentuk kesadaran ekologis lintas bidang.

Kedua, Kebijakan Kampus Hijau, yakni menetapkan standar bangunan hijau, penggunaan energi terbarukan, pengelolaan air dan limbah yang efisien.
Ketiga, Penguatan Riset Berkelanjutan dengan mendorong penelitian transdisipliner yang membahas isu-isu iklim, energi, pangan, dan keadilan lingkungan.

Keempat, Kemitraan dengan Komunitas Lokal, di mana kampus harus membangun hubungan simbiotik dengan masyarakat sekitar, berbasis pada etika kepedulian dan keberlanjutan.

Kelima, Etika Ekologis Institusional, yaitu kampus perlu mengembangkan budaya yang menghargai makhluk hidup, menjaga relasi harmonis dengan alam, dan tidak mengejar pertumbuhan dengan mengorbankan keberlanjutan.

Demikianlah, kampus memiliki tanggung jawab historis dan moral untuk menjadi pelopor dalam menjawab persoalan lingkungan. Ia bukan hanya tempat mencetak lulusan yang cerdas secara akademis, tetapi juga manusia yang bijaksana secara ekologis. Dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak, kampus ditantang untuk tidak sekadar menjadi menara gading, melainkan mercusuar perubahan yang menyinari arah menuju masa depan yang lestari.

Sebagaimana dinyatakan oleh David Orr, “Krisis ekologis merupakan manifestasi dari krisis pendidikan; kita telah dididik oleh sistem yang memisahkan kita dari alam” (Orr, 2004 : 8).
Maka, tugas kampus hari ini adalah membalikkan arah: dari alienasi ekologis menuju rekonsiliasi ekologis.[]

Komentar
Bagikan:

Iklan