Publikamalut.com
Beranda Ruang Kata Ternate Dan Gejala Melupakan Masalalu

Ternate Dan Gejala Melupakan Masalalu

Oleh: Hasrul Hi Kahar
(Mahasiswa Sosiologi UWM-Yogyakata)

Ternate tidak sekedar pulau kecil di peta Indonesia, Ternate adalah nadi sejarah yang mendunia.(Syaroni A. Hirto, 2021).

Secara geografis, Ternate merupakan pulau dan Kota kecil yang terletak di kaki Gunung Gamalama yang memiliki keindahan alam yang luar biasa, termasuk pantai dan laut. Dalam konteks kebudayaan, Ternate juga memiliki budaya yang unik, dengan perpaduan antara budaya Islam, Melayu, dan pengaruh Eropa.

Selain memiliki sejarah yang kaya dan budaya yang unik, juga terdapat keragaman masyarakat dengan keyakinan yang berbeda yang dalam sebutan Ternate sebagai Bala Kusu Se Kano-kano.

Penduduk di Ternate memang tidak terlalu banyak  sekitar 20,05 ribu jiwa di bandingkan dengan Jawa dan Sumatera, namun keunikan keragaman budaya dalam lingkaran empat kerajaan serta adanya rempah-rempah, ternate justru menjadi sorotan dunia dalam sejarah panjang perdagangan.

Dengan ‘Falsafah Jou Se Ngofa Ngare’ sebagai tonggak kehidupan masyarakat, ‘Adat Se Atorang’ berfungsi sebagai kontrol sosial dan budaya, serta ‘Dalil Tifa Se Dalil Moro’ dijadikan sebagai motto kehidupan yang harmonis bagi masyarakat yang hidup dalam konteks sosial-budaya dan keagamaan. Masih banyak falsafah dan nilai lainnya yang turut membentuk tatanan hidup masyarakat tersebut. (Lihat: Falsafah Jou Se Ngofa Ngare, Hidayatullah Syah).

Ternate juga pernah menjadi pusat Kerajaan Islam, bahkan menjadi salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia pada abad ke-16 hingga ke-19. Sebagaimana dalam bukunya Andaya, L.Y yang berjudul: The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Menyebut bahwa Ternate adalah salah satu kerajaan islam terbesar di Indonesia timur, yang pada abad ke-16 hingga abad ke-19 menjadi pusat perdagangan dan kekuasaan di wilayah Maluku. (Andaya, 1993: 12).

Pasca konflik 1999–2000, tatanan Provinsi Maluku Utara diperkuat dengan menetapkan Ternate sebagai ibu kota sekaligus pusat munisipalitas di berbagai sektor: administrasi, pendidikan, ekonomi, dan politik. Dalam perjalanannya, Ternate terus berkembang pesat, meskipun pada akhirnya Sofifi ditetapkan sebagai pusat administrasi Provinsi Maluku Utara pada 4 Agustus 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kendati demikian, Kota Ternate tetap eksis dan memainkan peran penting dalam pembangunan di bidang pendidikan, infrastruktur, ekonomi, dan sosial-politik. Namun, perubahan-perubahan tersebut secara perlahan berdampak pada memudarnya aktivitas adat-istiadat, seakan-akan masyarakat Ternate kehilangan jalan pulang ke akar tradisinya.

Dalam konteks perubahan yang begitu signifikan, Ternate yang menyandang status sebagai kota tampaknya belum sepenuhnya mengantisipasi dampak transformasi tersebut terhadap struktur sosial-budaya yang turut terlibat di dalamnya. Secara implisit, predikat ‘kota’ menjelma menjadi semacam prison of the mind—penjara mental—dalam arus perubahan sosial yang semakin modern dan kompleks.

Tanpa disadari masalah mulai bermunculan (dikotomi) antara pemerintahan kota dengan kesultanan Ternate dimana di tengah-tengah maraknya pembangunan di Kota Ternate yang makin berkembang maju justru pembangunan itu menggulung aset bersejarah dalam sejarah-kebudayaan Ternate seperti atas nama pembangunan kota, Menaja Rantai Pulau dilancarkan (Reklamasi) di muara Ake Santosa yang dapat mengeliminasi Dodoku Ali dari pandangan anak cucu para moyang dan leluhur orang-orang Ternate.

Tidak berhenti di situ, Pasar Tingkat Gamalama yang memiliki sejarah panjang dan kaya terkait dengan perkembangan Kota Ternate sebagai pusat perdagangan dan kekuasaan di wilayah Maluku. Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kota Ternate, M. A. Sjachrani (2004) menyebutkan bahwa pasar ini telah menjadi pusat perdagangan dan aktivitas ekonomi masyarakat Ternate selama berabad-abad.

Pasar Tingkat Gamalama juga menjadi salah satu destinasi wisata yang populer di Kota Ternate, karena keunikan arsitektur dan kegiatan perdagangan yang masih tradisional namun proyek mengaburkan pikiran pejabat publik yang mengarahkan kursor tajam pembangunan ke Pasar Tingkat Gamalama dan di gantikan dengan Plaza Gamalama yang dibangun pada tahun 2019 dengan dana APBD dengan maksud meningkatkan perekonomian Masyarakat Ternate serta memberi fasilitas pasar yang modern. Alih-alih di jadikan sentral pasar modern di Ternate, hingga saat ini, plaza tersebut belum difungsikan secara optimal dan bahkan direncanakan akan digunakan sebagai Rumah Sakit Daerah (RSD) Kota Ternate.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan krusial: siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya situs bersejarah tersebut? Terjebak dalam bayang-bayang proyek modernisasi, Pasar Tingkat Gamalama justru dikorbankan oleh ambisi pembangunan yang keliru dan tidak berpijak pada prinsip pelestarian nilai sejarah. Hal ini mencerminkan krisis identitas sekaligus krisis konseptual dalam perencanaan tata ruang kota, di mana kebijakan pembangunan lebih berorientasi pada estetika modern semu ketimbang keberlanjutan sosial dan kultural.

Jika permasalahan semacam ini terus berlanjut, tentu rentetan kecurigaan perlu kita arahkan dengan memberi anggapan bahwa apakah pejabat publik kita tidak terlalu sering membaca sejarah, atau keringnya ruang diskusi di antara pemerintah sehingga kebijakan yang di ambil justru berupayamemaksa kita untuk meninggalkan masalalu yang syahdu dan harmonis demi mengatasnamakan pembangunan yang denganjujur harus kita simpulkan, memang tabalai. Wallahualam!

Ternate, sebuah kota dengan sejarah kaya dan budaya unik, menghadapi tantangan dalam menjaga warisan budayanya di tengah modernisasi dan pembangunan. Perlu ada keseimbangan antara pembangunan modern dan pelestarian warisan budaya untuk menjaga identitas dan keunikan Ternate.

Terlepas dari apapun Semoga kita semua bisa belajar dari orang-orang yang kurang sadar untuk menjaga dan merawat apa-apa yang sudah menjadi identitas kita termasuk praktek adat dan budaya.[]

Komentar
Bagikan:

Iklan