Budi Daya Rumput Laut, Memanen Devisa & Melestarikan Lingkungan

OlehM. Ghufran H.
Kordi K.
Penulis buku-buku Perikanan & Kelautan
Rumput
laut atau alga (sea weed) menempati posisi penting dalam produksi
perikanan Indonesia, khususnya usaha perikanan non-ikan. Rumput laut merupakan
salah satu komoditas unggulan dalam sektor perikanan, karena permintaan yang
terus meningkat baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor.
Kebutuhan rumput laut diperkirakan terus meningkat, seiring dengan meningkatnya
kebutuhan untuk konsumsi langsung maupun industri (makanan, farmasi, kosmetik
dan lain-lain).
Kebutuhan
rumput laut untuk keperluan industri mencapai 10 kali lipat dari ketersediannya
di alam. Laju permintaan dunia terhadap rumput laut mencapai 10 % per tahun. Khusus untuk produksi karaginan saja
dibutuhkan 20.000 ton/tahun rumput laut, belum untuk agar, alginat, furselaran, maupun untuk konsumsi
langsung.
Saat ini,
pemanfaatan rumput laut telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Rumput laut tidak lagi sekadar dimakan atau digunakan
untuk pengobatan langsung, tetapi olahan rumput menjadi agar-agar, algin,
karaginan (carrageenan), dan furselaran (furcellaran) merupakan
bahan baku penting dalam industri makanan, farmasi, kosmetik dan
lain-lain.
Pada
industri makanan, olahan rumput laut digunakan dalam pembuatan roti, soup, es
krim, serbat, keju, puding, selai, dan lain-lain. Olahan rumput laut pada industri farmasi
digunakan sebagai obat peluntur, pembungkus kapsul obat biotik, vitamin, dan lain-lain. Pada industri
kosmetik, olahan rumput laut digunakan dalam produksi salep, krem, lotion,
lipstik, dan sabun. Olahan rumput
laut juga digunakan pada industri tekstil, industri kulit, dan industri
lainnya, seperti pelat film, semir sepatu, kertas, serta bantalan pengalengan
ikan dan daging.
Komoditas Ekonomis
Indonesia menduduki posisi penting dalam produksi rumput laut. Pada
tahun 2008, produksi rumput laut Indonesia sebesar 2,2 juta ton, mengalami
peningkatan tahun 2009 mencapai 2,5 juta ton. Tahun 2020 produksi rumput laut
Indonesia mencapai 13 juta ton. Angka ini masih rendah, karena potensi budi daya rumput laut
Indonesia mencapai 29 juta ton/tahun, yaitu 17 juta ton/tahun budi daya rumput
laut di laut atau daerah pasang surut dan 12 juta ton/tahun budi daya rumput
laut di tambak.
Lahan di
daerah pasang surut untuk budi daya rumput laut diperkirakan mencapai 1,3 juta ha. Dengan produktivitas rata-rata sebesar 16 ton
rumput laut kering/ha/tahun, maka dapat diproduksi sebesar 17,7 juta ton rumput
laut kering/tahun. Dengan harga rumput
laut kering di tingkat pembudidaya sekitar Rp. 4.500/kg maka akan dihasilkan nilai ekonomi (devisa) sebesar Rp. 80
triliun/tahun = 9 miliar dollar AS/tahun, dengan penyediaan lapangan kerja
sekitar 1 juta orang.
Sedangkan
untuk budi daya tambak, diperkirakan luas lahan untuk tambak di Indonesia
mencapai 1,2 juta ha. Sejauh ini yang baru dimanfaatkan untuk tambak udang (Penaeus
monodon, P. indicus, Litopenaeus vannamei), bandeng (Chanos chanos),
kakap putih (Lates calcalifer), beronang (Siganus), kerapu (Epinephelus suillus, E. coioides, E.
fuscoguttatus), nila salin, dan rumput laut, baru mencapai kurang lebih 400.000
ha. Dengan demikian masih tersedia lahan
untuk tambak yang cukup luas, baik untuk budi daya udang, ikan, rumput laut
maupun komoditas lainnya.
Rumput
laut merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan. Rumput laut merupakan
komoditas yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Dari 18 komoditas perikanan unggulan budi daya, rumput laut
menduduki posisi teratas. Tahun 2020produksi rumput laut Indonesia mencapai 13juta ton atau
mengalami kenaikan rata-rata sekitar 16% pertahun.
Bahan Baku Obat
Rumput
laut menjadi penting bagi kehidupan umat manusia, karena dapat digunakan
sebagai bahan pangan, obat-obatan maupun untuk kebutuhan lainnya. Sebagai bahan
pangan dan obat-obatan, rumput laut mengandung gizi yang penting untuk manusia.
Komponen utama gizi rumput laut terdiri dari karbohidrat, protein, sedikit
lemak, dan abu (yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan
kalium). Beberapa jenis rumput laut juga
dilaporkan mengandung vitamin A, B1, B2, B6, B12, dan C serta mineral seperti
kalsium, kalium, fosfor, natrium, zat besi dan iodium.
Karbohidrat yang terdapat pada rumput
laut merupakan vegetable gum, yaitu karbohidrat yang banyak mengandung
selulosa dan hemiselulosa, sehingga tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim
di dalam tubuh. Dengan demikian, rumput
laut dapat menjadi makanan diet dengan sedikit kalori—karena berkadar serat
tinggi—dan bermanfaat pula untuk mencegah penyakit sembelit, wasir, kanker usus
besar, dan mencegah kegemukan.
Kandungan gizi rumput laut yang
terpenting justru pada trace element, khususnya yodium. Kemungkinan alasan inilah yang menyebabkan
mengapa penyakit gondok atau penyakit kekurangan yodium jarang dijumpai di
Jepang dan Cina, dua negara yang masyarakatnya paling banyak mengkonsumsi
rumput laut.
Berdasarkan analisa terhadap kandungan
9 jenis rumput laut dari kelas Rhodophyceae (6 jenis) dan Chlorophyceae
(3 jenis) menunjukkan komposisi gizi sebagai berikut : karbohidrat 39-51 %,
lemak 0,08-1,90 %, dan protein 17,20-27,15 %.
Kadar protein tertinggi terdapat pada Gelidium amansii 27,15 %,
diikuti Grateloupia sp. 25,70 % dan Gracilaria verucosa 25,35
%. Sedangkan analisis terhadap protein 5
jenis rumput laut (Gelidium amansii, Gracilaria verucosa, Grateloupia
filicina, Ulva lactuca, dan Enteromorpha sp) diketahui memiliki asam amino esensial yang lengkap dan
berkualitas baik (Anggadiredja, 1992).
Sementara dalam studi etnofarmakologi
di beberapa daerah di Indonesia
terungkap 21 jenis dari 12 genus rumput laut bisa dimanfaatkan sebagai
obat. Dari 21 jenis rumput laut tersebut
terdiri atas 11 jenis dari 7 genus dari alga merah (Rhodophyceae), 7
jenis dari 4 genus alga hijau (Chlorophyceae), dan 3 jenis dari 1 genus
alga cokelat (Phaeophyceae).
Beberapa jenis rumput laut berkhasiat obat disajikan pada Tabel 1.
Studi
terbaru menyebutkan, bahwa alga coklat dari famili Fucaceae (misalnya Sargassum) merupakan sumber fucoidon yang diketahui memiliki senyawa
yang berpotensi sebagai pencegah penyakit kanker dan pencegah HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Fungsi Ekolog
Rumput
laut adalah tumbuhan yang hidup di perairan dangkal hingga pada kedalaman
hingga 40 meter. Namun, di
laut Mediteranean dijumpai rumput laut merah pada
kedalaman 130 meter. Tumbuhan ini hidup di dasar perairan laut sebagai
fitobentos dengan menancapkan atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur,
pasir, karang hidup, karang mati, cangkang moluska, batu vulkanik,
ataupun kayu.
Tumbuhan
yang digolongkan ke dalam divisi thallophyta
(tumbuh-tumbuhan berthalus) ini hidup
berasosiasi dengan tumbuhan lamun dan terumbu karang. Pada lingkungan tersebut merupakan
habitat (tempat) berbagai biota laut. Lingkungan tersebut juga merupakan daerah
pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi berbagai biota laut.
Penyerap Karbon
Selain itu,
sebagai kelompok tumbuhan, rumput laut merupakan penyerap karbon. Sebagaimana
tumbuhan di darat, rumput laut berfotosintesis dengan mengonsumsi
karbondioksida (CO2) untuk menghasilkan senyawa organik, seperti
karbohidrat, protein, dan lain-lain.
Para
peneliti membuktikan bahwa persediaan karbondioksida yang besar meningkatkan
fotosintesis. Karena itu, karbondioksida yang dilepas dari berbagai aktivitas
di bumi diduga menaikkan pula produktivitas primer seluruh dunia.
Namun,
karbondioksida transparan terhadap cahaya, tetapi agak kabur terhadap sinar
panas. Dengan begitu karbondioksida di udara menghalangi radiasi panas dari
bumi kembali ke ruang angkasa. Peningkatan karbondioksida di atmosfer akan meningkatkan
tebalnya selimut panas sehingga bumi akan menjadi lebih panas. Hal ini disebut
efek rumah kaca (green house gases/GHGs).
Emisi gas rumah kaca, khususnya CO2, sebanyak 77 % berasal dari
aktivitas manusia (IPPC, 2007).
Peningkatan
karbondioksida di atmosfer yang berlangsung secara terus-menerus akan membuat
bumi semakin panas dan dalam waktu yang panjang menjadi salah satu pemicu
perubahan iklim global (global climate
change).
Laut
menjadi salah satu penyerap karbondioksida yang sangat besar. Di laut terdapat
fitoplankton, lamun, dan rumput laut yang telah diketahui menyerap
karbondioksida sangat besar.
Hasil
penelitian pada budi daya rumput laut Kappaphycus
alvarezii di Teluk Gerupuk, Nusa Tenggara Barat tahun 2012 menunjukkan
bahwa, laju serapan karbon oleh K. alvarezii
yang dibudidayakan dengan sistem tali panjang (long line) sebesar 75,79 ton CO2/ha/tahun (Erlania,
2013).
Rumput
laut mempunyai kemampuan menyerap karbon sangat potensial. Selain K. alvarezii, rumput laut spesies Gracilaria gigas dan Laminaria
sp juga memiliki kemampuan relatif tinggi dalam menyerap karbon, yaitu
220,22 ton dan 118,73 ton CO2/ha/tahun. Ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan padang lamun dan ekosistem mangrove yang hanya 18,70 ton
dan 8,14 ton CO2/ha/tahun (Erlania,
2013).
Selain
rumput laut, padang lamun, dan ekosistem mangrove, penyerap karbon di laut
terbesar adalah fitoplankton yang diperkirakan menyerap 40-50 miliar ton
karbon/tahun (Nontji, 2008). Kemampuan fitoplankton menyerap karbon kurang
lebih sama dengan kemampuan seluruh tumbuhan darat menyerap karbon.
Budi daya
rumput laut dalam jangka panjang selain menguntungkan secara ekonomi juga
menjaga keseimbangan ekologi. Rumput laut merupakan komoditas budi daya yang
paling aman secara ekologis. Rumput laut menyerap karbondioksida dan
mengubahnya menjadi senyawa organik penting. Rumput laut juga tidak
menghasilkan limbah karena sejak budidaya tidak memanfaatkan pemupukan dan
pakan. Hasil panen rumput laut juga tidak menghasilkan limbah karena dapat
dimanfaatkan seluruhnya.
Dengan
demikian, budi daya rumput laut tidak hanya menguntungkan secara ekonomi,
tetapi juga berkontribusi pada ekologi.[]