Menjaga Mangrove Demi Keberlangsungan Hidup
Salah satu Kawasan Mangrov Guraping Sofifi Provinsi Malut (dok istimewa) |
PUBLIKA-TERNATE, Ikatan Alumni Perikanan dan Ilmu Kelautan (IKAPERIK) Maluku Utara menggelar kegiatan seminar yang bertajuk “Pengelolaan Konservasi Mangrove di Maluku Utara”.
Kegiatan yang dipusatkan di Grand Majang Hotel, Kelurahan Stadion, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, ini melibatkan sejumlah siswa SMA N 10 Kota Ternate dan SMK Negeri 1 Kota Ternate serta Komunitas Peduli Mangrove Maluku Utara.
Para narasumber yang hadir, yakni Syahrudin Turuy dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, Machmud Ichi CEO Kabar Pulau, M. Syarif Tjan Kabid Pengendalian dan Kerusakan DLH Kota Ternate, Yahya Alhaddad Sosiolog UMMU. Banyak problem manggrove Maluku Utara yang dibahas dengan ragam perspektif.
Salah satu Narasumber, M. Syarif Tjan mengatakan, pemerintah harus benar-benar fokus terhadap rehabilitas dan konservasi mangrove di Maluku Utara. Sebab, lahan mangrove, baik kawasan internal maupun eksternal itu semakin hari semakin menyusut.
“Di Kota Ternate saja luas lahan mangrove berdasarkan data ini seluas 6,9 hektar, tetapi dilapangan yang kita lihat semakin mengecil terus. Jadi pemerintah harus benar-benar fokus membuat regulasi, terutama Peraturan Daerah (Perda) tentang Konservasi Mangrove dan Upaya Pelestariannya,” ungkap M. Syarif Tjan, yang juga sebagai pemerhati Mangrove.
Fungsi mangrove ini, lanjut dia, harus disosialisasikan kepada masyarakat, baik fungsi ekologis, fungsi ekonomis maupun fungsi sebagai destinasi wisata.
“Harus diberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil peran. Sebab persoalan lingkungan itu kita harus keroyok, tidak bisa berjalan secara sektoral. Itu tidak bisa, semua stakeholder harus terjun langsung,” tegasnya.
Ia juga menuturkan, sebagai pembuat kebijakan dan regulasi, pemerintah harus mendekatkan masyarakat untuk berpartisipasi pada konservasi dan rehabilitasi mangrove.
“Mangrove di Kota Ternate berada di tiga kawasan, yaitu di kawasan Rua, Kawasan Sasa dan Kawasan Mangga Dua, Kecamatan Ternate Selatan. Dalam RT/RW, tiga kawasan ini adalah kawasan yang dijadikan suaka alam. Karena ini adalah suaka alam, maka fungsi mangrove harus dijaga dari gangguan pembangunan masyarakat,” paparnya.
Oleh karena itu, sambungnya, eksisting lahan mangrove di Kota Ternate yang semakin hari semakin kecil ini harus dibatasi, agar pembangunan tidak mengubah fungsi kawasan suaka alam menjadi fungsi lain.
“Jadi fungsi ini harus kita jaga, agar kedepan ekosistem tetap terjaga. Selain sebagai benteng pada saat permukaan air laut naik, ini juga bagian dari upaya pemerintah daerah untuk mendukung visi misi panel kerjasama antar negara untuk perubahan iklim,” ujarnya.
Panel ini bisa berjalan, manakala diawali dari pemerintah daerah menuju provinsi, negara dan kemudian antar negara.
“Karena perubahan iklim belakangan ini yang kita lihat adalah akibat dari ulah manusia, hilangnya mangrove, penggunaan bahan bakar fosil dan tekanan pembangunan yang begitu kuat terhadap lingkungan, sehingga daya dukung dan daya tampung bumi ini semakin berkurang,” urainya.
“Oleh sebab itu, kita harus batasi sehingga tidak terjadi bencana ekologi,” sambungnya, mengakhiri.
Apa yang disampaikan oleh M. Syarif Tjan ini sejalan dengan pandangan Narasumber lainnya, M. Arbain Mahmud mengatakan bahwa secara ekologi, ekosistem mangrove itu ada disekitarnya, diantaranya ikan, kepiting, udang dan sebagainya, itu bisa terancam punah, termasuk biota-biota kecil lainnya.
“Ketika mangrove rusak secara ekologi, maka akan mempercepat pemanasan global yang terkait dengan iklim, sehingga ketika terjadi bencana alam, tentu akan berdampak pada perubahan iklim,” katanya.
“Sementara, dampak ekonomi ketika mangrove rusak, maka potensi ikan di masyarakat semakin berkurang dan imbasnya penghasilan nelayan juga ikut merasakannya,” tambahnya.
Kemudian dampak sosialnya, tentu berdampak pada masyarakat. Kerusakan mangrove itu bisa mengundang bencana alam seperti fenomena tsunami, abrasi pantai dan banjir rob ketika air pasang yang melanda pemukiman warga di sekitar pesisir.
“Maka tugas pemerintah yaitu melakukan program-program konservasi mangrove sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah daerah melaui dinas terkait,” tutupnya.
Sosiolog UMMU, Yahya Alhaddad berpendapat bahwa problem Manggrove adalah Problem Fakta Sosial yang bertindak diluar dari kehendak.
“Problem Manggrove adalah problem fakta sosial yang dimana cara atau tindakan individu dipaksa oleh sistem satu sistem. Sebab di luar dari kehendak manusia sesungguhnya tidak ada yang ingin menebang manggrove tapi sistem yang memaksakannya,” Ujar, bang Yahya biasa di sapa.
Yahya juga menyentil kasus Manggrove di Manoropo yang diduga beberapa waktu lalu tertimbun lumpur akibat dari limbah tambang. Juga peran Lembaga Swadaya Masyarakat dan kesadaran sangat penting dalam melindungi manggrove.
“Kasus Manggrove di Monoropo itu akibat dari berbagai perizinan IUP dan aktivitas penambangan yang tak lihai dalam pengelolaan limbah akhirnya dampak dari itu semua adalah tertimbunnya manggrove oleh lumpur-lumpur yang diduga dari tilling pertambangan,” akhirnya.(red)