“AMBILLAH NEGERI INI…!”
Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
Sekretaris MPW ICMI Orwil Maluku Utara
“…negara dan pemerintah yang membiarkan rakyat mati di tanahnya sendiri bukan hanya gagal membangun, tetapi juga gagal menjadi negara.”
“Wahai para pejabat dan penguasa wahai para pengusaha,
ambillah negeri ini, ambillah tanah ini.
Perkaya dirimu dan komplotanmu…”
Kalimat ini terucap seolah tak ada lagi yang bisa dipercaya. Kalimat di atas seperti ratapan yang lahir dan menguar dari dada rakyat yang telah kehabisan suara dan kata-kata, menyaksikan polah laku pejabat dan pengusaha akhir-akhir ini.
Kalimat itu menjadi titik kepasrahan rakyat, ketika seluruh ruang hidup rakyat tak lagi tersisa.
Ia bukan sekadar metafora, melainkan potret telanjang tentang bagaimana negara (sekaligus Pemerintah), yang seharusnya menjadi pelindung sebagaimana UUD 1945, justru berubah menjadi fasilitator bagi perampasan ruang hidup warganya. Tanah, laut, gunung, dan hutan dikeruk tanpa ampun demi memuaskan kerakusan pemodal, sementara rakyat hanya disisakan remah-remah: lingkungan rusak, banjir, longsor, kemiskinan, dan kematian yang tak pernah benar-benar dihitung sebagai kerugian negara.
Dalam teori negara modern, pemerintah eloknya, harusnya, dan semestinya begitu, dibayangkan sebagai guardian of public interest, penjaga kepentingan umum. Namun dalam praktik kapitalisme ekstraktif hari-hari terakhir ini, negara/pemerintah acap bergeser menjadi broker antara modal dan sumber daya alam. Padahal sejak awal, Karl Marx telah mengingatkan bahwa negara dalam masyarakat kapitalis cenderung menjadi “komite eksekutif bagi kepentingan kelas borjuis” (Marx & Engels, 1848/1978).
Dalam konteks ini, kebijakan kehutanan, pertambangan, perkebunan skala besar, reklamasi pesisir dan laut, hingga proyek infrastruktur raksasa lebih kerap mencerminkan logika akumulasi modal daripada perlindungan terhadap rakyat.
Tanah dan laut yang dahulu menjadi ruang hidup petani dan nelayan kini berubah menjadi konsesi.
Gunung yang dulu dianggap sakral dan menopang sistem ekologis kini dibelah atas nama “hilirisasi” dan “pertumbuhan ekonomi”. Sementara laut yang menjadi dapur nelayan direklamasi atau tercemar limbah industri. Ini proses akumulasi kapital melalui perampasan aset publik dan ruang hidup rakyat (accumulation by dispossession). Negara berperan aktif melalui regulasi, izin, dan aparat keamanan yang memastikan proses perampasan berlangsung “legal”.
Ironisnya, semua ini acapkali dibungkus dengan bahasa pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dijadikan mantra, seolah-olah angka statistik mampu menutupi kerusakan ekologis dan sosial. Sejatinya, pembangunan bukan sekadar pertumbuhan, melainkan perluasan kebebasan substantif manusia untuk hidup layak dan bermartabat. Ketika rakyat kehilangan tanah, air bersih, dan rasa aman dari bencana, maka pertumbuhan itu sesungguhnya merupakan ilusi.
Dampak paling nyata dari kebijakan yang abai terhadap ekologi adalah meningkatnya bencana. Banjir dan longsor bukan semata peristiwa alam, melainkan hasil dari keputusan politik. Hilangnya hutan penyangga, rusaknya daerah aliran sungai, dan eksploitasi kawasan rawan bencana merupakan contoh nyata bagaimana kebijakan ekonomi menghasilkan risiko ekologis, sebagaimana yang dialami Aceh dan Sumatera hari ini. Pada masyarakat modern hari ini, di mana bahaya justru diproduksi dari sistem sosial itu sendiri. Kita tak mungkin mengelak dari semua itu.
Realitas ini memperlihatkan, betapa rakyat miskin menjadi kelompok paling rentan, karena mereka hidup paling dekat dengan sumber risiko.
Lebih tragis lagi, ribuan rakyat mati sia-sia di tanahnya sendiri. Kematian akibat banjir bandang, longsor tambang, atau pencemaran lingkungan kerap diperlakukan sebagai angka statistik belaka.
Tapi di televisi, sosial media, reels, komentar dan pernyataan pejabat seolah menggampangkan semuanya. Baik-baik saja…Hadeh…!!
Tidak ada tanggung jawab struktural yang sungguh-sungguh ditegakkan. Negara hadir sebatas belasungkawa, bukan keadilan. Padahal, dalam perspektif hak asasi manusia, lingkungan hidup yang sehat merupakan hak dasar warga negara. Ketika negara gagal melindunginya, maka sesungguhnya terjadi pelanggaran hak yang sistemik. Relasi negara dan modal yang timpang ini juga melemahkan demokrasi.
Partisipasi rakyat acapkali dibatasi pada formalitas konsultasi, sementara keputusan strategis telah ditentukan di meja elite. Wendy Brown menyebut kondisi ini sebagai undoing the demos, ketika logika neoliberal menggerus makna kedaulatan rakyat dan menggantinya dengan rasionalitas pasar (Brown, 2015 : 17). Rakyat tidak lagi diposisikan sebagai warga negara, melainkan sebagai hambatan bagi investasi. Karenanya, rakyat benar-benar dibaikan.
“Ambillah negeri ini,”
“ambillah tanah ini,” “ambillah semuanya, jangan sisakan untuk rakyat.”
Ini merupakan prosa dan puisi penuh marah yang tertahan dan tertekan. Ini merupakan bentuk dari jeritan perlawanan. Ia mengingatkan bahwa tanah dan alam bukan sekadar komoditas, melainkan bagian dari identitas dan keberlanjutan hidup. Tanpa perubahan arah kebijakan, yang sungguh-sungguh memihak rakyat dan ekologi, ruang hidupnya, negara dan pemerintah akan terus kehilangan legitimasi moralnya. Sebab negara dan pemerintah yang membiarkan rakyat mati di tanahnya sendiri bukan hanya gagal membangun, tetapi juga gagal menjadi negara.
“Ambillah semua yang ada negeri ini, dan jangan sisakan untuk rakyat…![]





