Publikamalut.com
Beranda Ruang Kata Peripheral Elites [Sosiologi Kehidupan Bahlil Lahadalia]

Peripheral Elites [Sosiologi Kehidupan Bahlil Lahadalia]

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

“Bahlil Lahadalia merupakan bukti representasi pinggiran yang menembus pusat kekuasaan”

Kehidupan Bahlil Lahadalia (BL) merupakan salah satu contoh paling menarik dalam kajian sosiologi kontemporer Indonesia. Latar belakangnya sebagai anak penjual kue keliling, dan sopir angkot di Fakfak, Papua Barat, kemudian menanjak menjadi pengusaha nasional, pemimpin organisasi bisnis, dan tokoh publik, menghadirkan gambaran tentang bagaimana mobilitas sosial diproduksi, dinegosiasikan, dan dipertahankan. Melalui perspektif ini, perjalanan BL dapat dibaca sebagai interaksi antara struktur sosial, habitus, jaringan, dan peluang historis yang membentuk identitas sekaligus posisi sosialnya.

***
Dalam kerangka Pierre Bourdieu, kehidupan manusia dibentuk oleh habitus, struktur mental yang muncul dari pengalaman hidup sehari-hari, serta modal yang dimiliki, baik modal ekonomi, sosial, kultural, maupun simbolik (Bourdieu, 1986: 241). Masa kecil BL yang hidup dalam ekonomi terbatas melahirkan habitus perjuangan yang kemudian menjadi fondasi etos kerjanya. Habitus ini berkembang melalui pengalamannya bekerja sejak usia muda untuk membantu keluarga, sekaligus melalui interaksinya dalam dunia organisasi mahasiswa (HMI) ketika menempuh pendidikan di universitas. Dalam arena sosial ini BL ditempa secara kultur dan mandiri.

Mobilitas sosial (baca : perpindahan kelas) menurut Pitirim Sorokin (1927), tidak hanya bergantung pada kerja keras, tetapi juga pada pembukaan struktur sosial yang memungkinkan terjadinya pergerakan vertikal. Mobilitas BL mencerminkan terbukanya peluang mobilitas di Indonesia pasca-reformasi, ketika ruang ekonomi dan politik menjadi lebih cair, memungkinkan figur-figur dari wilayah pinggiran memasuki arena nasional.

Jaringan dan Karier

Karier Bahlil sebagai pengusaha dan pemimpin organisasi bisnis, termasuk dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dapat dipahami melalui teori modal sosial James Coleman. Coleman menjelaskan bahwa modal sosial merujuk pada kemampuan individu memanfaatkan jaringan, kepercayaan, dan norma untuk memperoleh manfaat sosial maupun ekonomi (Coleman, 1988: S98).

HIPMI bagi Bahlil bukan sekadar organisasi, tetapi arena (field) dalam istilah Bourdieu, di mana ruang kompetisi yang memproduksi nilai dan legitimasi. Di sinilah BL mengembangkan kapasitas kepemimpinan, memperluas jaringan, dan mendapatkan pengakuan simbolik. Modal sosial inilah yang kemudian bertransformasi menjadi modal politik ketika BL mulai berinteraksi dengan struktur pemerintahan. Tokoh publik seperti BL merupakan development agent, yakni aktor yang menjalankan fungsi intermediasi antara negara, pasar, dan masyarakat. Nah, pembangunan yang efektif memerlukan aktor-aktor yang memiliki kemampuan adaptasi, kepekaan sosial, dan kapasitas negosiasi antara berbagai kepentingan (Korten, 1990: 112).

Kehadiran BL dalam berbagai proses kebijakan investasi dan pembangunan ekonomi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bagaimana agen pembangunan bekerja pada ruang strategis negara, menjadi jembatan antara kepentingan pemerintah pusat, investor nasional, dan lokal, serta masyarakat di tingkat daerah. Melalui teori strukturasi (Giddens, 1984 : 25), agen dan struktur saling membentuk. Struktur kebijakan investasi dan birokrasi memengaruhi tindakannya, tetapi pada saat yang sama, BL memiliki kapasitas untuk memodifikasi struktur melalui tindakan-tindakannya.

Representasi Peripheral Elites

Sebagai tokoh dari Papua, wilayah yang selama ini dipandang terbelakang, identitas BL memegang peran penting dalam narasi sosialnya. BL adalah bukti representatif anak-anak Papua bahkan anak-anak semua wilayah periferi di Indonesia bahwa mereka pun dapat bersaing secara nasional. Menurut Stuart Hall, identitas tidak bersifat statis, melainkan selalu dinegosiasikan melalui posisi sosial dan narasi yang dikonstruksi (Hall, 1996: 4). BL dapat dikategorikan sebagai _peripheral elite,_ yakni elit yang berasal dari daerah pinggiran namun berhasil menembus pusat kekuasaan. Fenomena ini dipahami sebagai bagian dari proses integrasi nasional, di mana negara membutuhkan representasi dari wilayah-wilayah perifer untuk memperkuat legitimasi politiknya (Anderson, 1999: 32).

BL bukan sekadar individu, tetapi simbol dari mobilitas sosial teritorial. BL memiliki apa yang oleh Max Weber sebagai otoritas karismatik, lahir dari kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki seseorang (Weber, 1978: 241). Dalam banyak kesempatan, sebagaimana kita saksikan di berbagai platform media, gaya komunikasi BL yang spontan, terbuka, dan apa adanya, acap dibaca sebagai karisma khas orang timur Indonesia : hangat, egaliter, sekaligus tegas. Karisma ini menjadikannya figur yang mudah diterima oleh berbagai kelompok, dari pebisnis, politisi, hingga masyarakat di daerah. Namun, Weber juga mengingatkan bahwa otoritas karismatik perlu dirutinkan melalui struktur. Individu karismatik harus masuk ke dalam mekanisme birokratis agar dapat berfungsi secara efektif. Transformasi karisma menjadi otoritas legal-rasional inilah yang tampak dalam peran BL ketika menjalankan jabatan publik, dimana ia harus mengikuti aturan birokrasi sekaligus menjaga daya tarik personalnya.

Konstelasi Kekuasaan

Perjalanan BL menunjukkan bagaimana elit ekonomi dapat bergerak menuju posisi politik melalui mekanisme _elite circulation._ Vilfredo Pareto menyebut bahwa sirkulasi elit merupakan proses regenerasi yang terjadi saat elit lama digantikan atau dilengkapi oleh elit baru yang dinilai memiliki kapasitas lebih relevan (Pareto, 1935: 142). BL merupakan sosok pengusaha yang masuk ke arena politik dan kebijakan, dimana ia menjadi contoh bagaimana arena ekonomi dan politik saling bertautan. Keterlibatannya dalam kebijakan investasi memperlihatkan bagaimana negara modern membutuhkan figur dengan keahlian teknokratis dan jaringan bisnis untuk menjalankan agenda pembangunan.

Pengalaman hidup BL menunjukkan bagaimana individu dari wilayah pinggiran dapat bergerak menuju pusat melalui kombinasi modal sosial, habitus, jaringan, serta peluang struktural. BL merupakan contoh konkret mobilitas sosial vertikal dalam masyarakat Indonesia post-reformasi, sekaligus representasi elite baru yang lahir dari dinamika ekonomi-politik nasional. Dengan membaca perjalanan hidupnya melalui kacamata sosiologi, kita tidak hanya memahami sosok BL sebagai individu, tetapi juga memahami bagaimana struktur sosial Indonesia bekerja, berubah, dan diproduksi ulang melalui biografi para aktor kuncinya.[]

Komentar
Bagikan:

Iklan