Publikamalut.com
Beranda Ruang Kata SAJAK UNTUK MASYARAKAT TAMBANG

SAJAK UNTUK MASYARAKAT TAMBANG

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

Di kaki bukit yang pernah hijau
tempat hujan memeluk akar dan burung bernyanyi,
kini deru mesin mengganti kidung alam,
dan debu, bukan lagi embun,
yang menyapa pagi.

Kita menyebutnya tambang, lubang di tubuh bumi yang kita gali
seperti menggali rahasia nenek moyang
tanpa doa, tanpa jampi,
hanya kontrak dan surat-surat izin
yang ditandatangani tanpa mengerti.

Tapi dari lubang itu,
sajak pun lahir, bukan dari tinta emas,
melainkan dari tangis dan luka
yang tertinggal di dapur-dapur yang sepi,
di lengan-lengan lelaki yang menghitam
oleh nikel dan siasat pasar global.

Ini bukan puisi tentang keindahan,
melainkan catatan luka
yang menolak dilupakan.

Ada perempuan yang menjahit malam
dengan doa sunyi dan nasi yang tinggal separuh,
sementara suaminya menambang waktu
hingga tubuhnya hancur sebelum fajar.

Ada anak-anak yang menggambar gunung
tanpa puncak,
karena baginya, gunung
adalah truk dan cerobong,
bukan hutan dan mitos.

Ada kampung yang tak lagi mengingat
nama pohon atau nama burung,
tapi hafal nama-nama perusahaan
dan kode pada helm keselamatan.

Namun jangan salah,
sajak dari masyarakat tambang bukan hanya ratapan,
ia juga perlawanan
yang tumbuh diam-diam
di balik cerita rakyat yang tak dibakar.

Ia hidup dalam logat ibu
yang mengutuk korporasi
dengan bahasa leluhur,
dalam lagu anak-anak
yang mengganti lirik
dengan tanya-tanya tentang tanah dan masa depan.

Sajak ini bukan untuk disimpan
di rak-rak perpustakaan daerah,
tapi dibacakan
di pos jaga,
di dapur,
di pasar,
di musholla kecil
yang nyaris digusur ekskavator.

Ia adalah puisi
yang meledak tanpa dinamit,
yang menulis dirinya
di tubuh pulau,
dengan batu dan darah,
dengan nyanyian dan napas yang tersisa.

Wahai kalian yang memegang pena di kantor pusat,
dan kalian yang menggambar peta
tanpa pernah menginjak tanah itu,
dengarkan sajak ini,
karena ia ditulis bukan dengan tinta,
melainkan dengan kehilangan
yang tak bisa dibeli kembali.

Inilah sajak dari masyarakat tambang, yang tak tunduk pada pasar,
tak patuh pada pemerintah,
tapi bersuara untuk bumi
yang ingin didengar kembali.[]

Komentar
Bagikan:

Iklan