Buku Yang Berjiwa

Salman Tidore
Mahasiswa Sosiologi UMMU & Pegiat PILAS Institute
Pernahkah kau merasa meningalkan buku saat pergi ke warung kopi terdekat seperti meninggalkan teman bercerita. Buku bukan sekadar kertas yang tertulis dan diberi nama, akan tetapi jiwanya dan hati sesorang yang betul-betul menaruh perhatian padanya, maka jiwa buku dan hati manusia menyatu secara langsung.
Buku dalam wujudnya yang paling Ajaib, bukan sekadar benda, ia adalah jendela yang bisa dibuka dari dalam. aku tidak ingat betul-betul buku yang pertama ku baca, akan tetapi dengan berjalannya waktu dengan terus mendekati diriku pada buku aku merasa dunia membentang lebih luas dari pada ruang gerak ku, dari kamar ke kampus, dan halaman-halaman kampus. buku seperti, peta perjalanan hidup, tetapi yang ditunjukkan bukan jalan pulang akan tetapi jalan pergi menuju pengetahuaan tak terbatas, buku diibaratkan guru yang tak menegur dan teman yang tidak pernah pergi.
Membaca membuka pikiran, dan berwawasan, akan pengtahuan yang lebih luas mengingat sebuah kisah dari Rasulullah SAW, suatu ketika, Rasulullah didatangi oleh seseorang, ia bertanya ya Rasulullah SAW, beritahu kepada ku apa yang dimaksud kebaikan dan kejahatan? Rasul SAW kemudian menempelkan telapak tangan ke dada orang tersebut dan berkata. Kebaikan adalah ketika engkau melakukan sesuatu hatimu tentram, sebaliknya kejahatan adalah ketika engkau melakukan sesuatu hatimu meronta-ronta.
Kisah ini dituliskan dalam buku : Belajar Pada Keheningan Agama di Tengah Pertarungan Realitas Sosial. (Guntur Alting, 2013:166). Cerita singkat tentang buku yang terus aku bawa di dalam tasku, berlahan-lahan menjadi kebiasanku saat pergi lalu meninggalkan buku”, seolah-olah buku berkata. sedihkah engkau meninggal kan ku, bukan kah aku adalah cinta segi tigamu yakni dari kamarmu, handphonemu, dan buku. hendaklah engkau pergi meninggalkan kamar ini, tetapi aku ajak bersama handphonmu aku buku, percayalah aku tidak akan mengganggumu dengan cinta pertamamu handphonenmu, akan tetapi sampai ke kedai kopi nanti setiap detik, setiap menit, bahkan berjam-jam pun aku buka buku, tetap merindukan elusan tanganmu yang lembut itu. Begitulah perasaanku selama ini dari kamar sebentar ke kedai kopi dan lupa membawa buku.
Setiap orang punya cara membaca buku yang berbeda-beda, seperti yang saya temukan tiga orang pembaca punya cara membaca buku berbeda-beda, bahkan cara pandangan dan memahami isi buku yang dibacakan juga berbeda.
Ada orang yang suka membaca tanpa mengetarkan bibir dan tidak mengeluarkan suaranya, sorang pembaca tersebut bisa dikatakan seorang yang membaca dalam hati, membaca dan menganalisa isi buku yang dibacanya, sehingga membuat pembaca tersebut terlihat seperti orang melamun bedanya hanya pada pandangan mata tetap fokus pada tulisan sehingga membuat si pembaca mudah mengerti apa yang dibaca, namun membaca tidak fokus saat membaca buku ditempat umum.
Ada orang yang suka membaca hanya mengetarkan bibir tampa ber-suara pembaca seperti ini terlihat seakan-akan dia sedang berbincang-bincang tampa suara dengan buku, sesorang seperti ini sangat suka membaca di tempat umum seperti kedai kopi, taman-taman kota dan perpustakan terbuka. ada orang yang suka membaca buku dengan mengeluarkan suara dan mimik-tangan seolah-olah dia sedang mengulang-ngulang kata yang dia rasa menarik atau bagus sumber bacannya. Semua tergantung dengan kenyamanan, seseorang pembaca dalam memahami buku dan tulisan.
Paul Sweeney. (26 April 2025, menuliskan, jika budaya anda tidak menyukai orang – orang kutu buku, anda berada pada masalah yang serius.” Anda tahu, anda telah membaca buku bagus ketika Anda memiliki halaman terakhir dan merasa seperti kehilangan seorang teman.”
Buku Itu seperti halnya kopi meskipun menusuk saraf dan pahit, tetapi, ada kenikmatan tersendiri jika ada ikatan menumbuh”. Inspirasi Kata (Commune Coffe).
Mencintai buku salah satu indikatornya adalah membaca dan merawatnya akan tetapi terbalik sesorang yang suka merawat buku tidak untuk dibaca, kesalahan ini dari mahasiswa yang suka buat pajangan buku-buku di meja belajar, dan lemari, buku yang menjadi pejangan yang tersimpan rapi kamar kos tanpa membacanya dan dlebih memilih menghabiskan waktunya dengan bermain handphonen dari pada membuka bukunya.
Di dunia ini banyak orang tahu kalau mau pintar, jalan yang harus ditempuh dengan membaca buku. Persoalannya, tidak semua orang memiliki minat membaca.
Di kalangan mahasiswa, lebih suka mencari teman, tempat, untuk mengobrol. Mereka lebih banyak bicara dangan teman-teman (interaksi sosial). Ini selalu diidentikkan dengan aktivitas dialogis antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, secara terbuka di tempat umum, maupun dalam ruangan, atau di mana saja.
Mereka dengan asyik menikmati satu topik yang diperdebatkan antara masalah ini dan masalah itu. Memang ini bukan sesuatu yang salah.
Mahasiswa harus memahami jati-dirinya, terutama apabila banyak bercerita tentang beragam topik dan dibahas secara bersama. Diskusi antara kelompok sosial yang ada di kehidupannya, akan perlahan-lahan membentuk suatu solidaritas di kalangan mahasiswa. Sambil membangin magnet sosial. Mahasiswa juga perlu melakukan pendekatan, untuk membangun tali silaturrahmi dengan orang-orang di sekitarnya. Juga perlu menata etika, moral, dan pendekatan humanistik di antara orang-orang yang sudah matang dan berpengalaman, dan secara umur barangkali lebih tua.
Persoalannya kenapa? tidak bercerita dengan dirinya sendiri, bukankah kata atau sebuah kalimat itu dapat dari sumber isi hati sesorang, dibawah alam bawa sadar, isi pikiran manusia itu sendiri, lalu di ucap dengan mulut sehingga menjadi satu kalimat yang tertulis maupun tidak tertulis. yaa-contoh sederhananya berbicara dengan diri sendiri, “sama” halnya dengan menanyakan ke pada diri kita sendiri.
Hari ini ingin buat apa ?, apakah selama ini kita hidup sudah benar-benar berbuat ?, bukankah tanggung jawab terhadap diri kita sendiri toh, apa susah tangung jawab kita menjadi keberlansungan jati diri untuk detik ini dan hari besok dan seterusnya hidup,? semisalnya hidup ini lebih lama lagi, apa yang terjadi pada diri kita kedepannya..?
Persoalan mahasiswa saat ini, ke kampus hanya duduk manis mendengarkan dosen pada mata kuliah dan seterusnya, lalu pulang ke-kosan bgitu saja, jika ada tugas dari dosen, nanti disambungkan pada waktu pertemuan berikut. Antara dosen dan mahasiswa, apa lagi kalau dosen memberi judul tugas tanpa sepotong materi, yang dibahas secara bersama.
Untuk mahasiswa yang menyelasaikan tugas tersebut, entahlah tugas yang mahasiswa peroleh itu dari mana sumbernya, lalu mahasiswa menggunakan sedikit kelebihannya di bidang pencarian media online atau sering dikenal dengan bahada Inggris dan AI, kemudian mencocokkan dari judul tugas tersebut.
Tanpa mengutip kalimat, dari sumber bacaannya dari AI dengan jelas. Bila tugas sudah dibuat, yang dia dapat dari dosennya dianggap sudah selesai, dan mungkin dia pikir sudah berakhir pula urusan dia dengan dosen, maka tugasnya sebagai mahasiwa pun sudah berakhir, sesuai tanggung jawab yang dia dapatkan dari seorang dosen tersebut. Entah itu benar atau salah, yah bodoh amat. Toh, kan ada nilai tambahan dari hasil benar atau salah tugasnya, yang penting dia sudah buat.
Kata seorang mahasiswa, kalau pemateri atau dosen tersebut cuma ceramah begitu saja dari awal saat pemberian jadwal semester dan tibanya Ujian Tengah Semester (UTS), lalu tanpa materi yang diberikan dosen baik dalam bentuk manual maupun non-manual. Kalau sudah begini, siapa yang salah.
Sebagai mahasiswa, ia punya tangung jawab. Karena mahasiswa ibarat mentari dunia, yang wajahnya menarik masuk ke dalam orbitnya, engkau telah menjadi bagian dari sistem universal, kata Ali Syariati.
Jika sudah mengenal dunia kampus dari pendaftaran sampai mendapat julukan, kakak alumni dari adik-adik berikutnya. Lalu, ada komunitas kampus, yang mahasiswa pernah bernaung, membina diri, hingga meraih gelar sarjana.
Dunia kampus, sebuah milieu yang dihuni warga komunitas terdidik. Mereka hidup dalam interaksi yang sarat perdebatan teoretis dan metodologis. Di dalam buku Kejahatan Dunia Intelektual (2021), dikatakan, kampus sudah sedikit memfasilitasi apa yang dibutuhkan mahasiswa dan dosen di dalam ruang kuliah, lalu proses belajar mengajar, seorang dosen dan mahasiswa di dunia komunitas terdidik.
Untuk itu terbagi dua tugas atau tanggung jawab yang harus di penuhi oleh mahasiswa, yaitu hukum pekerjan, dan hukum keterkaitan, yang ada di universitas tersebut. Kedua hukum atau aturan ini, harus dijalankan secara bersama antara seorang dosen dan mahasiswa yang terikat oleh aturan kampus. Jika tanggung jawab seorang dosen sudah di laksanakan dengan baik, sesuai aturan yang dibuat, dan menerapkan hukum dan sekaligus mengontrol aktifitas.
Sebagaimana mestinya seorang dosen sudah harus menjalankan hukum pekerjan tersebut dengan lebih baik.
Lalu apa kabar dengan mahasiswa yang bernaung di dunia kampus? Setelah sudah selesai berurusan pembayaran kreditnya. Di universitas yang dia tempati pasca, sarjana selama mengikuti sistem kredit, dan mendapat julukan terbaik di kalangan mahasiswa.
Dari Kosan ke kampus, lalu kosan ke kampus tanpa mempunyai pengelaman di ruang lingkup sosial selama menempuh satu semester, apalagi untuk mendapatkan gelar serjana di universitas tercinta.
Menjadi aktivis mengikuti arahan, satu komando, satu tujuan saja tak cukup. Kalau tidak mengenal disiplin ilmu yang dituntut, sama halnya mengenal tujuan tanpa aksi.
Menjadi mahasiswa adalah mempunyai cara pandang yang harus berbeda dari orang yang tidak di bekali dengan paradigma ilmu yang dianut. Orang yang pandai harus tahu arah mana dia berjalan tanpa diperintahkan oleh orang lain.
Harapan saya sebagai penulis, apakah tulisan ini dari awal sampai akhir dipahami atau tidak, sebagai kaum intelektual dapat dipahami, bahwa pengetahuan yang kita dapatkan di kampus, agar dapat menjelaskan dengan baik kepada masyarakat. []