Publikamalut.com
Beranda Ruang Kata Belajar dari Gerak Ombak

Belajar dari Gerak Ombak

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

Dalam kebudayaan masyarakat maritim, ombak bukan sekadar fenomena alam. Ia merupakan lambang sejaligus mengandung filosof yang terus mengajarkan manusia tentang ketekunan, perubahan, dan kebijaksanaan.

Ombak, dalam filsafat kehidupan, mewakili dinamika eksistensi yang tak pernah diam, melambangkan keberanian untuk terus bergerak meski berkali-kali terhempas. Ombak merupakan metafora kehidupan: indah sekaligus keras, tenang sekaligus liar.

Dalam filsafat Timur, terutama dalam ajaran Taoisme, gerakan ombak melambangkan harmoni antara kekuatan aktif (yang) dan pasif (yin). Lao Tzu dalam Tao Te Ching menggambarkan air sebagai unsur paling fleksibel namun paling kuat, yang senantiasa mampu menaklukkan yang keras karena ia tahu cara menyesuaikan diri (Tzu, 2006: 31).

Ombak, sebagai bagian dari air, mencerminkan fleksibilitas dalam menghadapi hidup: kadang melambung tinggi, kadang tenggelam, namun tak pernah benar-benar berhenti.

Ombak tidak melawan angin, tetapi menjadikannya bagian dari geraknya.
Dalam hal ini, ombak mengajarkan filosofi “ikut arus bukan berarti menyerah”, melainkan memahami arah kekuatan dan menjadikannya bagian dari perjalanan. Sebagaimana dikatakan oleh Alan Watts, “The more a thing tends to be permanent, the more it tends to be lifeless” [Semakin sesuatu cenderung bersifat permanen, semakin ia cenderung menjadi tak punya hidup] (Watts, 1957: 23).

Dalam geraknya yang tak pernah abadi, ombak justru hidup dan seolah “memberi” kehidupan bagi laut.

Ombak datang silih berganti. Tidak ada satu pun ombak yang sama, namun ritmenya teratur. Ini mencerminkan konsep keteguhan dalam ketidaksamaan. Dalam kehidupan manusia, kita kerap menghadapi tantangan yang berbeda, namun prinsip untuk menghadapinya tetap sama: sabar, konsisten, dan terus bergerak.

Kearifan lokal pada masyarakat pesisir, terutama dalam budaya kepulauan, kerap mengibaratkan ombak sebagai “guru kesabaran”. Di sebagian besar masyarakat pulau, terdapat ungkapan bahwa ombak besar tidak membuat nelayan berhenti, tetapi membuat mereka lebih hati-hati. Ombak mengajarkan kepada kita bahwa segala kesulitan tidak harus dihindari, melainkan dihadapi dengan segala kesiapan dan ketenangan.

Ombak kuat, bahkan bisa menghancurkan karang. Namun ia tidak pernah menuntut pengakuan. Filosofi ini sejalan dengan pemikiran filsuf Jepang, Daisetz T. Suzuki, yang mengatakan bahwa kekuatan sejati adalah yang tidak merasa harus membuktikan dirinya (Suzuki, 1970: 54).

Ombak hanya melakukan tugasnya, yakni : mengalir, memukul pantai, dan kembali ke laut. Tanpa ambisi, ia justru menjadi simbol kekuatan alamiah yang tak bisa ditaklukkan.

Dalam konteks modern, filosofi ini menentang budaya hiperkompetisi. Dunia kerja hari ini mendorong manusia untuk terus membuktikan diri, menjadi yang tercepat, terpandai, dan terhebat. Ombak mengajarkan kebalikannya: tidak semua kekuatan harus keras kepala. Kekuatan sejati justru datang dari kedalaman, bukan dari permukaan.

Ombak tidak ada sendirian. Ia lahir dari angin, dari tarikan bulan, dari tekanan air. Dengan kata lain, ia merupakan hasil dari relasi. Ini sesuai dengan pandangan filsafat relasional yang dikembangkan oleh Martin Buber dalam I and Thou (1970), bahwa eksistensi manusia adalah eksistensi bersama. Ombak mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar independen. Segala sesuatu terhubung, saling memengaruhi, dan saling menghidupi.

Dalam masyarakat kepulauan, ombak merupakan bagian dari jaringan kehidupan: ia membawa ikan, menyampaikan kabar dari pulau ke pulau, dan menjadi jalan penghubung. Orang-orang laut memahami bahwa memahami ombak berarti memahami dunia.

Banyak orang memuja ombak. Ia difoto, dilukis, dinyanyikan. Namun tak satu pun bisa memilikinya. Ombak datang dan pergi, tak bisa ditangkap atau dikurung. Filosofi ini menohok ke dalam gaya hidup modern yang cenderung ingin “memiliki” segala hal—waktu, tubuh, cinta, bahkan alam.

Ombak justru memperlihatkan bahwa keindahan sejati adalah yang bebas. Ia hanya bisa dinikmati dalam momen, bukan dikoleksi. Inilah pelajaran etis dari ombak, yakni, belajar menikmati tanpa keinginan untuk memiliki. Pelajaran ini sejalan dengan pandangan estetika Zen yang memandang keindahan sebagai sesuatu yang fana, tidak kekal, namun justru karena itu, bermakna (Juniper, 2003: 88).

Filosofi ombak merupakan filosofi tentang keberanian hidup. Ia tidak menawarkan kenyamanan, tetapi kejujuran. Ia tidak menjanjikan ketenangan, tetapi mengajarkan keberanian untuk terus bergerak di tengah badai. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, mungkin kita harus belajar lebih banyak dari ombak: bahwa perubahan bukan ancaman, bahwa gerak adalah kehidupan, dan bahwa tidak ada kekuatan yang lebih besar dari mereka yang tidak takut terhempas.[]

BACA JUGA:Memahami Kurban dalam Sosiologi

Komentar
Bagikan:

Iklan