Publikamalut.com
Beranda Ruang Kata “Kepala Daerah, Menulislah…!”

“Kepala Daerah, Menulislah…!”

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMI

_”Kepala daerah yang menulis meninggalkan jejak yang lebih tahan lama daripada prasasti beton atau spanduk peresmian.“_

Kepala daerah yang lantang berpidato di mimbar resmi, atau dalam rapat formal, sudah lazim kita tahu dan pahami bersama.

Tapi membuka buku dari karya seorang kepala daerah, masih sangat langka dan jarang terdengar.
Membuka halaman pertama buku tipis yang ditulis seorang kepala daerah, mungkin lebih bernilai dan bermakna dari janji yang ditebar tanpa bukti.

Bukan kepala daerah yang hanya hidup dalam status media sosial, bukan tokoh rekayasa dan manipulatif dalam video pendek atau reels, tapi rakyat menginginkan sosok nyata, seorang kepala daerah yang mau dan mampu menulis tentang daerahnya, tentang lingkup kuasanya, tentang sejarah yang tersembunyi dan tak tertulis, tentang aroma rempah di pagi hari, dan tentang ketimpangan yang mengendap di jalan-jalan berdebu dan hutan-hutan yang meranggas dan kian menipis.

Tidak, buku itu bukan sekadar narasi teknokratik yang penuh jargon dan angka pertumbuhan ekonomi, atau puja puji penuh luka. Ia adalah sulaman dan anyaman antara pengalaman dan pengharapan, antara perenungan malam yang hening dan kenyataan siang yang riuh.

Tatkala buku dibaca, saya teringat akan apa yang pernah dikatakan warrawan senior dan sastrawan, Goenawan Mohamad dalam _Marxisme, Sastra, dan Kritik Kebudayaan_, bahwa menulis, menurut Goenawan adalah “cara menyusun dunia, mengaturnya dalam bahasa, dan karenanya menentukan makna”
(Mohamad,1993 : 44).

Maka, ketika kepala daerah menulis, ia sedang menyusun puzzle dunianya, menyisipkan makna atas kekuasaan dan tanggung jawabnya atas aoa yang ia emban.

Sejarah pernah mencatat, beberapa kepala daerah yang menulis bukan hanya untuk laporan, tapi sebagai pernyataan diri dan visi kebudayaan mereka.

Boleh kita sebut di antaranya :
Tri Rismaharini, mantan Wali Kota Surabaya, menulis tentang perjuangan sosialnya dalam Surabaya Membara (Risma, 2015). Lalu ada Anies Baswedan pernah menyusun refleksi pendidikan dalam Indonesia Mengajar (Baswedan, 2012).

Di Timur Indonesia, kita bisa menoleh pada mantan Bupati Bantaeng, Prof. Nurdin Abdullah, pernah menulis pengantar dalam buku transformasi daerahnya, seolah ingin mengatakan: “Inilah bukti bahwa pembangunan bukan hanya angka dan grafik, tapi juga kisah dan jejak manusia.”

Lalu lebih ke Timur lagi, ada Syamsir Andili, mantan Walikota Ternate yang fenomenal, pernah menulis buku yang bagus dengan tekun tentang kepemimpinan, berjudul _Melayani dengan Rasa_ (Penerbit Arung Pustaka dan Pustaka Sawerigading, Makassar, 2010). Buku ini hampir pasti kurang diketahui masyarakat.

Menulis bagi kepala daerah merupakan tindakan simbolik yang langka.

Dalam dunia yang terlalu sibuk mengejar pembangunan fisik, menulis menjadi bentuk resistensi, melawan ketergesa-gesaan dan mengajak warga untuk berpikir, merenung, bahkan bermimpi.

Di sinilah kita mengingat Paulo Freire yang berkata, “membaca dunia haruslah mendahului membaca kata” (Freire, 1970 : 87).

Kepala daerah yang menulis meninggalkan jejak yang lebih tahan lama daripada prasasti beton atau spanduk peresmian.

Buku merupakan warisan. Ia tidak lapuk dimakan hujan, tidak berdebu oleh lupa. Dalam tulisan, pemimpin bisa bicara tanpa mikrofon, bisa hadir tanpa agenda formal, bisa berbincang dari hati ke hati dengan rakyatnya.

Hal ini diungkapkan Taufik Abdullah dalam _Indonesia dalam Arus Sejarah_ , bahwa dokumen naratif, termasuk autobiografi para pemimpin daerah, adalah bagian penting dari historiografi lokal yang sering terabaikan (Abdullah, 2023 : 112).

Dengan menulis, kepala daerah memperluas ruang demokrasinya, membuka diri untuk dikritik, dipuji, bahkan diingat.

Namun tidak semua tulisan pemimpin punya nyawa. Banyak yang kering, sekadar pajangan atau pesanan.

Yang jujur biasanya lahir dari kegelisahan. Ia seperti air yang mengalir dari retakan batu: pelan, namun terus membekas. Di sana kita bisa merasakan pergulatan antara keinginan membangun dan realitas birokrasi yang mengekang.

Buku seperti itu tidak perlu tebal, tidak perlu mewah. Cukup satu kalimat yang hidup, dan pembaca akan tahu: ini ditulis oleh tangan yang pernah gemetar, oleh hati yang tak selalu menang.

Jika tiap kepala daerah menulis—tentang daerahnya, tentang laut yang hilang, tentang sekolah yang roboh, tentang ibu yang menjual kue dan nasi jaha di pasar ketika usai subuh—maka kita akan punya peta emosi dan ingatan kolektif yang jauh lebih kuat daripada angka-angka makroekonomi. Kita akan punya literatur lokal yang memperkaya kebangsaan. Kita akan tahu bahwa kekuasaan bukan hanya tentang perintah, tapi juga tentang perenungan dan pengabdian.

Seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” (Toer, 1995, hlm. 10).

Maka, saya mengajak para kepala daerah se Maluku Utara untuk menulis—bukan untuk dikenang semata, tapi untuk memaknai kuasa yang mereka emban.

Karena menulis adalah cara paling manusiawi untuk menjadi pemimpin yang abadi.[]

Komentar
Bagikan:

Iklan