Bijak Berujar di Ujung Jari
Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
“Bijak berujar di ujung jari merupakan
bentuk pertahanan diri sekaligus kontribusi kita semua untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat.”
Beberapa hari lalu, di Halmahera Utara, seorang oknum polisi dengan inisial HL, membuat gaduh lewat postingan di media sosialnya, ujaran merendahkan agama dan keyakinan warga lain. Sontak memantik respon warga dan kelompok masyarakat. Kondisi ini lalu cepat direspon pihak kepolisian Halmahera Utara dan mengamankan serta memberi sanksi atas oknum polisi di maksud. Kejadian ini bukan kali pertama. Postingan liar dan penghinaan di media sosial kerap terjadi. Realitas ini mengabarkan pada publik, begitu mudah merendahkan atau menghina keyakinan orang lain, tanpa berpikir sehat dan panjang resikonya. Untuk itu, dibutuhkan, selain kemampuan literasi digital, juga butuh kebijakan dan kebajikan dalan bermedia sosial.
Di era digital, jari-jari memegang kekuatan yang luar biasa. Dengan satu sentuhan layar, orang dapat mengirimkan pesan, membagikan pendapat, bahkan memengaruhi opini publik. Positif maupun negatif. Namun, di balik kemudahan ini, terselip bahaya : ujaran kebencian, penghinaan, dan fitnah makin mudah bertebaran. Fenomena ini membuat pentingnya bersikap bijak berujar di ujung jari menjadi sebuah tuntutan moral.
Media sosial merupakan ruang publik baru yang mempertemukan beragam individu dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan ideologi yang berbeda. Namun, alih-alih menjadi tempat dialog yang sehat, media sosial acapkali menjadi ajang perdebatan sengit, bahkan caci maki. Dapat dinyatakan bahwa, media sosial mendorong budaya “instant judgment” di mana orang cepat menilai, mengkritik, bahkan menghina tanpa mempertimbangkan dampak psikologis pada pihak lain. Hal ini diperparah dengan anonimitas yang membuat sebagian pengguna merasa bebas dari tanggung jawab moral.
Di layar gadget yang kita miliki, berhamburan beragam ujaran kebencian, penghinaan, yang dengan enteng disebarkan. Muncul nama dan akun entah siapa. Fenomena mudahnya orang menghina dapat dipahami melalui kacamata sosiologi komunikasi. Menurut Denis McQuail, komunikasi digital mempercepat arus informasi sekaligus mengaburkan norma interaksi (McQuail, 2010:87). Dalam percakapan tatap muka, ada kontrol sosial berupa ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan reaksi lawan bicara. Di dunia maya, kontrol itu hilang. Inilah yang oleh John Suler disebut sebagai online disinhibition effect, di mana seseorang cenderung berkata kasar atau menghina karena merasa aman di balik layar (Suler, 2004:321).
Contoh nyata bisa kita lihat dan amati dari maraknya kasus perundungan daring (cyberbullying). Di Indonesia, menurut laporan SAFEnet (2022), aduan terkait ujaran kebencian dan penghinaan daring terus meningkat setiap tahun. Kasus yang viral biasanya terjadi di kolom komentar, baik di TikTok, Instagram, Facebook, maupun Twitter. Seorang figur publik bisa dihina dengan bahasa kasar hanya karena penampilannya, aksennya, atau pernyataan yang dianggap kontroversial. Kasus yang menimpa anggota DPR RI beberapa waktu lalu di akhir Agustus merupakan indikasi tentang hal ini. Bahkan, orang biasa yang menjadi korban viral dapat menerima hujatan massal tanpa kesempatan membela diri. Dampak dari fenomena ini tidak bisa diremehkan.
Menurut Kowalski et al. yang melakukan penelitian tentang ini, memperlihatkan bahwa korban penghinaan daring rentan mengalami stres, depresi, dan isolasi sosial (Kowalski et al., 2014:22). Bahkan, terdapat kasus ekstrem di mana korban memilih mengakhiri hidupnya akibat tekanan psikologis. Ini membuktikan bahwa kata-kata di dunia maya bisa melukai sama seperti kata-kata di dunia nyata. Lalu, bagaimana bersikap bijak dan bajik berujar di ujung jari? Pertama, perlu menumbuhkan kesadaran etika digital (digital ethics). Etika digital merupakan seperangkat nilai yang mengatur perilaku pengguna internet agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Prinsip-prinsip seperti berpikir sebelum mengetik dan mengirim, menghormati privasi orang lain, dan menghindari penyebaran informasi yang belum terverifikasi harus diinternalisasi sejak dini.
Kedua, penting untuk mengendalikan emosi. Dalam banyak kasus, penghinaan lahir dari kemarahan sesaat. Sebuah penelitian menemukan bahwa media sosial meningkatkan perilaku impulsif karena memberikan instant feedback loop — pengguna langsung mendapat balasan, like, atau retweet atas komentar yang mereka buat (Konrath et al., 2011:230). Dengan demikian, menunda respons dan mengambil waktu untuk merenung sebelum menulis bisa mencegah konflik lebih jauh.
Ketiga, pemerintah dan platform digital memiliki tanggung jawab. Undang-Undang ITE di Indonesia sebenarnya telah mengatur sanksi bagi pelaku penghinaan daring (UU No. 19 Tahun 2016, Pasal 27 Ayat 3). Namun, implementasi hukum ini harus disertai dengan pendidikan literasi digital. Jika hanya mengandalkan sanksi hukum, risiko kriminalisasi dan ketidakadilan bisa muncul. Literasi digital memberi bekal masyarakat untuk menggunakan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab (Kementerian Kominfo, 2023).
Selain itu, masyarakat sipil dapat mendorong kampanye positif di media sosial. Misalnya, gerakan #BijakBersosmed yang pernah digaungkan oleh sejumlah influencer berupaya mengingatkan bahwa setiap kata memiliki konsekuensi. Kampanye publik yang mengedepankan empati terbukti menurunkan intensitas ujaran kebencian di beberapa komunitas daring.
Bijak berujar di ujung jari bukan hanya slogan, tetapi sebuah keharusan. Kemudahan orang menghina di era digital menciptakan iklim komunikasi yang beracun jika tidak diimbangi dengan kesadaran etis. Individu, pemerintah, dan platform digital harus bekerja sama menciptakan ruang aman bagi semua pengguna. Bijak bukan berarti membungkam kritik, tetapi menyalurkan kritik dengan cara yang membangun, berempati, dan menghormati martabat sesama manusia.
Di era ketika satu cuitan dapat meruntuhkan reputasi seseorang, bijak berujar di ujung jari merupakan bentuk pertahanan diri sekaligus kontribusi kita untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat. Kita, dengan demikian, tidak hanya menyelamatkan orang lain dari luka batin, tetapi juga menjaga kesehatan mental kolektif bangsa ini.[]


