Kapitalisme Pengawasan

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
“Kapitalisme pengawasan secara sepihak mengklaim pengalaman manusia sebagai bahan mentah yang bebas untuk diterjemahkan ke dalam data perilaku” (Zuboff, 2019 : 8)
Praktik-praktik ekonomi digital yang merampas data pribadi manusia sebagai bahan baku untuk mengeruk keuntungan, disingkap dengan mengagumkan oleh Shoshana Zuboff melalui karya monumentalnya, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (2019).
Zuboff memperkenalkan konsep “kapitalisme pengawasan” sebagai bentuk baru dominasi ekonomi dan kekuasaan sosial yang muncul dari praktik ekstraksi data personal oleh perusahaan teknologi besar seperti Google, Facebook, dan Amazon. Zuboff menyatakan bahwa bentuk kapitalisme ini tidak hanya mengumpulkan data untuk meningkatkan layanan, tetapi secara aktif membentuk dan memanipulasi perilaku manusia demi keuntungan ekonomi (Zuboff, 2019 : 8–9).
Kapitalisme pengawasan, demikian Zuboff, merupakan logika ekonomi yang mengekstraksi pengalaman pribadi manusia dan mengubahnya menjadi data perilaku (behavioral surplus) yang kemudian digunakan untuk membuat prediksi tentang tindakan manusia di masa depan (Zuboff, 2019 : 94–97). Yang membedakan bentuk kapitalisme ini dengan sebelumnya adalah bagaimana cara ia mengkomodifikasi dimensi terdalam kehidupan manusia, yakni : emosi, hubungan, keputusan, bahkan diam-diam, gerak tubuh dan tatapan mata.
Zuboff melacak asal-usulnya pada Google pasca-9/11, saat perusahaan mulai menyadari bahwa data pengguna memiliki nilai prediktif untuk kepentingan iklan bertarget. Praktik ini berkembang dari sekadar personalisasi layanan menjadi model bisnis yang agresif dan sistematis untuk mengontrol perilaku pengguna, tanpa persetujuan sadar mereka (Zuboff, 2019 : 123–125).
Zuboff kemudian mengidentifikasi tiga prinsip dasar kapitalisme pengawasan.
Pertama, ekstraksi data tanpa persetujuan pengguna; Kedua, konversi data menjadi produk prediktif, dan ketiga, perdagangan produk tersebut di pasar perilaku masa depan (Zuboff, 2019 : 132–135).
Pasar perilaku ini merupakan ruang tempat algoritma menilai siapa yang akan membeli apa, kapan, dan bagaimana, dengan tujuan akhir untuk memengaruhi keputusan pengguna sebelum mereka sadar sedang dipengaruhi. Proses ini menciptakan bentuk kekuasaan baru yang disebut Zuboff sebagai “instrumentarian power”, yaitu kekuatan untuk mengatur dan memanipulasi perilaku manusia melalui perangkat digital (Zuboff, 2019 : 376).
Salah satu dampak utama kapitalisme pengawasan adalah erosi kebebasan dan demokrasi. Dalam rezim ini, manusia diperlakukan bukan sebagai warga negara atau subjek moral, melainkan sebagai “sumber bahan baku” bagi keuntungan ekonomi. Zuboff menyebut ini sebagai “penculikan hak untuk menentukan diri sendiri” (Zuboff, 2019 : 512–514).
Kebebasan, dalam pengertian filosofis dan politis, bergantung pada otonomi individu atas pikiran, pilihan, dan tindakan. Namun dengan algoritma yang terus-menerus memantau dan membentuk perilaku, ruang bagi pengambilan keputusan bebas kian tergerus. Dalam konteks ini, demokrasi bukan hanya dilemahkan oleh manipulasi informasi, tapi oleh hilangnya agensi individu dalam masyarakat digital (Zuboff, 2019 : 537–540).
Zuboff menolak gagasan bahwa perkembangan ini merupakan keniscayaan teknologi. Zuboff menekankan bahwa kapitalisme pengawasan merupakan hasil keputusan korporasi dan politik, bukan determinisme teknologis.
Olehnya itu, perubahan juga harus datang dari pilihan etis dan politik yang baru (Zuboff, 2019 : 475–480).
Dalam bagian akhir bukunya, Zuboff menyerukan perlunya regulasi yang tegas terhadap praktik ekstraksi data, pembentukan norma digital yang melindungi kebebasan individu, serta penegasan ulang tentang pentingnya hak atas privasi. Zuboff menyatakan: “Kita tidak dilahirkan untuk dijadikan sasaran pengawasan” (Zuboff, 2019 : 524).
Dari sudut pandang sosiologi, karya Zuboff menandai pergeseran besar dalam relasi antara teknologi, ekonomi, dan masyarakat. Ia menunjukkan bagaimana kapitalisme tak lagi bergantung pada produksi barang, tetapi pada produksi makna dan manipulasi keputusan. Ini beresonansi dengan teori Jean Baudrillard tentang “simulacra” dan “hiperrealitas”, di mana realitas sosial dibentuk oleh sistem representasi dan informasi yang dikendalikan oleh kekuatan dominan (Baudrillard, 1983).
Sementara dalam pandangan Michel Foucault, logika pengawasan digital yang dijabarkan Zuboff memperlihatkan bentuk baru panoptikon, di mana individu terus merasa diawasi, namun tidak tahu oleh siapa dan untuk tujuan apa (Foucault, 1977).
Kapitalisme pengawasan bukan sekadar masalah ekonomi, tapi juga bentuk baru kekuasaan yang menyusup ke dalam struktur kesadaran dan relasi sosial manusia.
Buku ini merupakan karya penting yang menyajikan kritik radikal dan tajam terhadap arah perkembangan ekonomi digital. Melalui penelitian yang luas dan argumentasi yang kuat, Shoshana Zuboff menantang kita untuk tidak menerima “pengawasan sebagai harga modernitas.” Zuboff menyerukan perlindungan martabat manusia di tengah badai algoritma dan eksperimentasi sosial korporat. Sebuah karya wajib baca bagi siapa saja yang peduli pada masa depan demokrasi, kebebasan, dan hakikat manusia dalam masyarakat digital.[]