Dakwah Kepulauan Muhammadiyah

Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah tidak hanya menjadi aktor penting dalam pembaruan Islam di kawasan perkotaan, tetapi juga memainkan peran strategis di wilayah-wilayah kepulauan. Meski wilayah kepulauan identik dengan keterisolasian, minim infrastruktur, dan akses terbatas terhadap pendidikan serta kesehatan, Muhammadiyah hadir sebagai kekuatan sosial-keagamaan yang konsisten memperjuangkan kemajuan umat melalui pendekatan dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat.
Sejak berdirinya pada 1912, Muhammadiyah memposisikan dakwah sebagai misi utama. Dalam konteks kepulauan, seperti Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua, dakwah Muhammadiyah tidak semata-mata bersifat normatif, tetapi lebih kepada transformasi sosial. Dakwah tidak hanya mengajak masyarakat kepada pemurnian akidah dan ibadah, tetapi juga memerdekakan masyarakat dari ketertinggalan struktural dan ketimpangan pembangunan.
Muhammadiyah hadir dengan pendekatan dakwah kultural dan dakwah bil-hal, yang menyatu dengan konteks lokal masyarakat pulau. Sebagaimana dijelaskan beberapa ahli, Muhammadiyah merupakan “gerakan tajdid yang tidak hanya memperbaiki pemahaman keagamaan umat, tetapi juga struktur sosial yang melingkupinya.”
Di banyak pulau kecil di Indonesia timur, Muhammadiyah menjadi pionir dakwah dengan sentuhan sosial, melalui pendidikan, layanan kesehatan, dan advokasi kebijakan lokal.
Salah satu sumbangsih paling konkret Muhammadiyah di wilayah kepulauan dapat dicermati pada bidang pendidikan.
Di tengah keterbatasan negara dalam membangun infrastruktur pendidikan di pulau-pulau kecil, sekolah-sekolah Muhammadiyah menjadi oase pengetahuan. Misalnya, di Kepulauan Maluku Utara, terdapat Sekolah Dasar dan Menengah Muhammadiyah di Ternate, Tidore, Galela, dan Bacan yang menjadi tumpuan pendidikan masyarakat Muslim, bahkan hingga ke komunitas pesisir yang minoritas.
Menurut studi Ma’arif Institute (2015: 64), sekolah Muhammadiyah di kawasan terluar Indonesia justru menunjukkan daya tahan yang tinggi dalam menghadapi tantangan geografis dan sosial. Guru-guru Muhammadiyah dikenal militan, dengan semangat pengabdian tinggi meskipun berhadapan dengan fasilitas yang terbatas. Pendidikan Muhammadiyah juga memberikan ruang tafsir Islam yang rasional, toleran, dan mendorong pembebasan dari belenggu tradisi lokal yang kaku.
Selain pendidikan formal, Muhammadiyah juga aktif dalam pendidikan non-formal seperti pengajian ibu-ibu Aisyiyah, taman pendidikan Al-Qur’an, dan pelatihan ketrampilan. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan dalam perspektif Muhammadiyah bukan hanya transfer ilmu, tetapi transformasi peradaban.
Kontribusi Muhammadiyah di bidang kesehatan juga patut diapresiasi, terutama melalui Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dan klinik-klinik kesehatan yang berada di pulau-pulau. Dalam kondisi di mana akses terhadap rumah sakit atau fasilitas medis terbatas, Muhammadiyah memberikan layanan kesehatan dasar, termasuk penyuluhan gizi dan layanan imunisasi.
Secara konkret, bisa dilihat dari kegiatan LAZISMU dan MDMC di Pulau Seram dan Pulau Buru, Provinsi Maluku, yang aktif memberikan layanan kesehatan keliling bagi komunitas adat dan pesisir. Dalam laporan Tahunan MDMC (2022: 47), disebutkan bahwa program mobile clinic Muhammadiyah telah menjangkau lebih dari 50 desa di wilayah kepulauan dengan pendanaan swadaya dan kolaborasi relawan.
Muhammadiyah di wilayah kepulauan juga bertransformasi sebagai agen pemberdayaan ekonomi lokal. Melalui koperasi, pelatihan kewirausahaan, hingga bantuan untuk UMKM, Muhammadiyah mendorong masyarakat pulau untuk mandiri secara ekonomi. Salah satu program unggulan adalah Aisyiyah Empowerment for Coastal Women di wilayah pesisir Bantaeng dan Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, yang berfokus pada penguatan ekonomi perempuan (Aisyiyah Report, 2019: 31).
Selain itu, Muhammadiyah juga terlibat dalam advokasi sosial, terutama dalam hal pendidikan inklusi, perlindungan lingkungan, dan hak masyarakat adat. Pada beberapa wilayah kepulauan, misalnya, Muhammadiyah bersama Aisyiyah ikut mengadvokasi masyarakat dalam menghadapi ekspansi korporasi yang merusak ekosistem laut dan mangrove.
Meski peran Muhammadiyah sangat signifikan, tantangan yang dihadapi juga tidak kecil. Masalah klasik seperti kekurangan SDM, minimnya dana operasional, serta kesenjangan teknologi informasi, menjadi hambatan dalam pengembangan amal usaha di pulau-pulau. Namun, dengan jaringan nasional dan spirit kemandirian yang ditanamkan KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah tetap bertahan bahkan berkembang di wilayah kepulauan.
Ke depan, Muhammadiyah perlu mengintegrasikan pendekatan dakwah dengan isu-isu kekinian seperti perubahan iklim, digitalisasi pendidikan pulau, dan pemberdayaan komunitas nelayan. Perluasan e-learning, penguatan kader lokal, serta sinergi dengan lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi jalan strategis dalam memperkuat peran di wilayah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal).
Muhammadiyah telah menjelma menjadi jantung sosial-keagamaan masyarakat kepulauan. Ia bukan sekadar organisasi dakwah, tetapi institusi masyarakat sipil yang menjahit asa di antara pulau-pulau. Melalui pendidikan, layanan kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi, Muhammadiyah menorehkan jejak dakwah pencerahan dalam bentang geografis Indonesia yang majemuk.
Di tengah tantangan global dan lokal, peran Muhammadiyah di wilayah pulau adalah bukti nyata dari Islam yang membebaskan, mencerdaskan, dan memberdayakan.[]