Publikamalut.com
Beranda Ruang Kata CSR Dan Inkonsistensi Korporasi (Belajar dari Bencana Sumatera)

CSR Dan Inkonsistensi Korporasi (Belajar dari Bencana Sumatera)

Oleh: Dr. Said Assagaf, M.M
(Pemerhati Kebijakan Publik)

DITENGAH hingar-bingar pemberitaan tragedi Sumatera dan Aceh yang sangat memilukan beberapa pekan terakhir ini—baik terkait jumlah korban jiwa maupun orang hilang yang menembus angka ribuan, kerusakan rumah, hingga lenyapnya ratusan desa akibat tanah longsor dan banjir lumpur yang sangat dahsyat—bahkan ada pengamat yang menilai area terdampak lebih masif daripada tsunami Aceh tahun 2004.

Tanpa harus melalui kajian dan penelitian mendalam, satu hal yang tak terbantahkan secara kasat mata adalah bahwa tragedi kemanusiaan ini terjadi karena adanya kelalaian dan keculasan dalam pengelolaan sumber daya alam. Adanya konspirasi pejabat yang memberi celah regulasi bagi korporasi mengakibatkan munculnya mafia Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang merusak ekosistem alam. Alih fungsi lahan kawasan konservasi dan pengundulan hutan secara sistemik sering kali menggunakan alasan klasik investasi sebagai pembenarannya.

Topik mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) kerap berhubungan dengan inkonsistensi daripada korporasi, dan hal demikian menjadi isu yang sepertinya lenyap dari percakapan publik, lebih-lebih tragedi ekologis di Aceh dan Sumatera terindikasi kuat adalah hasil pembabatan pohon oleh korporasi.

Sungguh sebuah ironi, karena seyogianya CSR bila diterapkan secara konsisten dan adil oleh korporasi serta diawasi oleh pejabat yang berwenang, seharusnya mampu memproteksi dan mencegah prahara kemanusiaan di Aceh dan Sumatera. CSR memiliki landasan hukum yang jelas berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) Pasal 74 dan PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

Regulasi ini mewajibkan perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam untuk menganggarkan dana CSR sebagai kompensasi yang seimbang dalam pelestarian ekosistem dan dampak kerusakan lingkungan, yang kemudian diaudit oleh akuntan publik.

Pertanyaannya, bagaimana komitmen dan konsistensi korporasi serta pemerintah dalam melaksanakan kewajiban regulasi tersebut? Menindaklanjuti landasan hukum tersebut, seharusnya pemerintah mengevaluasi dan mengawasi implementasi CSR sesuai amanat undang-undang dengan membentuk tim audit independen. Hal ini penting untuk menjamin terwujudnya CSR yang adil, seimbang, dan proporsional sesuai peruntukannya.

Kenyataan di lapangan serta data yang ada menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Hampir semua korporasi tidak melaksanakan kewajiban sesuai aturan yang berlaku. Tidak adanya transparansi mengindikasikan bahwa CSR hanyalah sebuah pencitraan semu melalui CSR Award.

Bahkan, terdapat penyalahgunaan, manipulasi, dan konspirasi antara korporasi dengan institusi tertentu dalam penyaluran yang tidak sesuai peruntukannya. Skandal CSR Bank Indonesia dan CSR Telkom yang telah ditangani oleh KPK merupakan sebagian kecil dari fakta yang tak terbantahkan.

Keprihatinan atas inkonsistensi melaksanakan kewajiban CSR, serta adanya konspirasi dan arogansi korporasi, telah mengusik Kepala Negara. Hal ini menjadi topik utama dalam Sidang Kabinet Paripurna tanggal 15 Desember lalu. Presiden Prabowo Subianto lantang menyatakan bahwa negara tidak boleh dikalahkan oleh korporasi, dan korporasi tidak boleh mengatur negara. Lebih lanjut, beliau menegaskan kebijakan perekonomian nasional berdasarkan UUD 1945 Pasal 33, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir korporasi.

Mudah-mudahan apa yang disampaikan Presiden Prabowo bukan sekadar ucapan belaka, melainkan wujud dari ketegasan dan komitmen keberpihakan terhadap rakyat. Sebab, masih banyak konspirasi dan arogansi korporasi yang mendapat dukungan penguasa.

Sebagai contoh nyata, kasus pemagaran laut Tangerang Selatan, PIK 1, dan PIK 2 dengan label Proyek Strategis Nasional (PSN) dikhawatirkan hanyalah menjadi tameng legitimasi bagi kepentingan oligarki.[]

Komentar
Bagikan:

Iklan