Kartini dan Suara Lirih dari Rahim Ibu Bumi

Herman Oesman
Dosen FISIP UMMU
“Menjadi Kartini hari ini adalah menanam benih di tanah yang nyaris tandus…”
Di tengah denting waktu yang terus berdetak, di antara sunyi ladang yang retak dan daun-daun yang luruh lebih awal, kita mendengar kembali suara Kartini.
Bukan sekadar suara dari surat-surat yang ditulis pada meja tua dengan lampu minyak menyala redup, tetapi suara yang memecah zaman: suara seorang perempuan yang menembus kabut patriarki dan menyuarakan kehidupan.
Hari ini, di hari Kartini, suara itu menggema dari tubuh bumi yang luka, dari sungai-sungai yang kehilangan arusnya, dan dari rahim perempuan yang terampas hak atas tanah dan air.
Kartini bukan hanya simbol emansipasi. Ia adalah metafora dari perlawanan terhadap sistem yang menindas: kolonialisme, patriarki, dan hari ini—ekstraktivisme.
Dalam suratnya kepada Abendanon, Kartini menulis, “…kami menginginkan pendidikan, bukan untuk menjadi seperti laki-laki, tetapi untuk menjadi manusia yang utuh” (Kartini, 2004:112).
Pendidikan bagi Kartini adalah jalan untuk menghidupkan nurani, bukan sekadar menjadi pengikut zaman, tetapi pembentuk zaman.
Namun zaman kita adalah zaman krisis. Bumi memanas, laut meninggi, dan udara menghitam. Di mana perempuan berdiri dalam krisis ini?
Di garda terdepan, mereka adalah penjaga air, penyimpan benih, dan pelindung tanah. Tetapi juga mereka yang pertama kali kehilangan semua itu.
Kartini dan perempuan merupakan suatu jalan pemikiran yang lahir dari luka-luka sejarah perempuan dan alam, mengajarkan kita untuk melihat keterkaitan antara tubuh perempuan dan tubuh bumi. Vandana Shiva, mengatakan bahwa “perempuan dan alam adalah korban dari logika dominasi dan eksploitasi yang sama, yang menjadikan produktivitas hanya sebagai angka di laporan ekonomi” (Shiva, 1989 : 38).
Perempuan dan ekologi, sebagaimana Kartini, tidak sekadar melawan ketidakadilan, tetapi menawarkan kehidupan yang baru.
Lihatlah perempuan-perempuan di daerah yang kaya sumber alam, yang mempertahankan tanah dari kuku penambangan. Lihatlah perempuan-perempuan di Halmahera yang menggugat tambang nikel karena meracuni sumur dan kebun mereka. Mereka adalah Kartini masa kini.
Tubuh mereka adalah medan perjuangan, sekaligus medan ingatan.
Maria Mies dan Vandana Shiva menulis, bahwa kapitalisme global bekerja dengan cara yang sama seperti patriarki: Ia menaklukkan, mengeksploitasi, lalu membuang. Mereka mengutip bagaimana “produksi dan reproduksi yang dikerjakan oleh perempuan dan oleh alam tak pernah diakui sebagai kerja” (Mies & Shiva, 1993:56).
Kartini paham benar soal ini. Ia tahu bahwa suara perempuan, seperti air yang tenang, bisa jadi meluap saat tak lagi didengar.
Maka, memperingati Kartini hari ini bukan sekadar membacakan kutipan dari Habis Gelap Terbitlah Terang, melainkan membawanya ke medan politik ekologis.
Menjadi Kartini hari ini adalah menanam benih di tanah yang nyaris tandus, adalah menolak tambang yang merusak sungai, adalah menulis puisi saat hutan dibakar. Sebab, seperti yang ditulis Kartini dalam suratnya, “hidup itu memberi, bukan memiliki” (Kartini, 2004:67).
Lalu bumi pun, seperti perempuan, terus memberi—bahkan ketika ia terus dilukai.[]